BIAR aku ceritakan saat kali pertama aku
melihatmu. Dua tahun yang lalu. Waktu itu, aku melihat selembar kertas kosong
yang bersih. Rasanya seperti melihat langit yang cerah tanpa sedikit pun awan menggantung
di atas sana. Itulah kamu, yang kulihat waktu itu. Duduk diam dengan secangkir
kopi yang mendingin. Masih penuh, bahkan tak tersentuh olehmu. Aku tak tahu
kenapa aroma kopi hangat begitu memabukkan dan memuaskan hingga meminumnya
hingga habis adalah tabu bagimu. Dan aku tak tahu, kenapa kau mematung diri di
tengah keramaian pesta malam itu.
Minggu, 08 Desember 2013
Minggu, 15 September 2013
Nasib Bunga
kenapa kau meragu, wahai bunga
di kepak sayap kumbang terselip berjuta asa
sedang janjinya selalu ia ujarkan
tinggal kau turuti, tinggal kau ikuti
kenapa masih juga kau ragu, wahai bunga
di sekelilingmu ilalang tak henti bernyanyi
membujukmu untuk ikut kekasih
hanya tinggal satu kata, “ya” kau ucapkan
bunga, waktu pasti segera berlalu
manis madumu ‘kan menggetir
tegak mahkotamu ‘kan melayu
dan wangimu ‘kan meluruh
lalu tunggu apa lagi
Ketika sempurna sudah lama jadi milikmu?
Kamis, 20 Juni 2013
Estetika (Tubuh) Perempuan, atau?
Saya
baru saja selesai membaca salah satu tulisan Kang Putu (Gunawan Budi Susanto)
dalam bukunya Ngedan, Edan-edanan pada
Zaman Edan yang saya dapatkan langsung dari penulisnya, gratis. Penting
bagi saya menyertakan kata “gratis” sebab inilah kado pertama yang saya dapatkan
dari hasil “ketikan tangan” sendiri. Maka, tak mungkin saya lewatkan kesempatan
untuk meminta tanda tangan beliau.
Judul
tulisan itu adalah Tubuh Perempuan: Medan Pertempuran Antarpedagang.
Judul yang menarik perhatian, terutama karena saya perempuan. Tulisan tersebut
mengulas tentang fenomena tubuh perempuan yang acap kali dijadikan senjata para
pemasang iklan dalam mempromosikan produknya.
Sabtu, 08 Juni 2013
Butuh Pencerahan
Gila. Aku berada di titik paling jenuh sepanjang
delapan belas tahun berdiri di atas tanah baka ini. Parah, sungguh parah. Aku
tak lagi merasakan nikmatnya belajar, bergumul dengan tugas-tugas kuliah,
buku-buku pelajaran, handouts, dan segala macam tes serta ujian. Aku tak lagi
merasakan indahnya kata “semangat”, menguasai mata kuliah, mengejar passion.
Akh, kata yang terakhir itu, agaknya perlu pula aku ganti. Bukan lagi passion
yang saat ini sedang kususuri, yang saat ini sedang kukejar. Bukankah passion adalah sesuatu yang padanya
kita tak pernah lelah mengejar dan akan melakukan apapun untuk bisa meraihnya?
Sedangkan untuk sekedar membuka buku saja sudah membuatku mual. Kata “malas”
semakin menjalari tubuhku, mengikatnya erat-erat, membunuh setiap derajat rasa
“ingin” yang sisa-sisanya masih kupunyai.
Entahlah, tiba-tiba saja grammar, writing, listening,
reading, speaking, dan segala macam mata kuliah lain tak punya daya tarik lagi
barang secuil pun. Bukan grammar, writing, atau mata kuliah lain yang membuatku
sibuk; bukan mereka yang memampukan mataku untuk terbuka hingga larut malam
dengan semangat penuh yang mendidih di sekujur tubuh.
“Malas” mungkin menjadi akar penyebab dari masalah ini,
tetapi aku sadar bahwa tak mungkin selamanya menyalahkannya. Siapa yang
membiarkan rasa itu menghinggapi diri?
Selasa, 14 Mei 2013
Ibu Itu Masih Di Sana
Pikiran Na tiba-tiba saja
melayang seketika melihat seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jalan itu
sambil menengadahkan tangannya. Sekian meter lagi ia akan sampai di depan ibu
itu, entah akan sama dengan sebagian besar orang yang dari tadi lewat begitu
saja tanpa mempedulikannya, atau datang sebagai salah satu dari sedikit orang
yang mendekati ibu itu lalu mengulurkan tangannya yang memegang beberapa keping
uang recehan.
Senin, 15 April 2013
"Ibu Kangen...."
“Kadang, ibu kangen kumpul-kumpul lagi kayak
dulu...”
Hatiku berdesir mendengar kata-kata itu
tertulis layar monitor laptopku. Pesan dari seorang wanita, seorang ibu, salah
satu wanita yang paling kusayangi setelah ibuku. Sama sepertinya, aku juga
rindu. Rindu masa-masa indah itu, rindu dengan bahagia itu, dan rindu pada
kasih sayang itu.
Pisah, kata itulah yang menjadi alasan
terhadap rindu ini. Pisah, kata yang menciptakan jarak diantara dua keluarga,
yang sebetulnya masih sama-sama mendamba untuk kembali menyatu. Pisah, membentangkan
samudera rindu tanpa pantai.
Aku benci dengan kata itu, sungguh. Benci sekali.
Kalau bukan karena pisah, pasti semua ini takkan terjadi. Kalau tak ada pisah,
maka takkan pernah ada rindu ini, takkan pernah ada perasaan ini.
Coba lihat apa yang terjadi dulu. Bersama,
bersatu, saling mencintai, saling menjaga, dan saling memiliki. Kebahagiaan selalu
ada di hadapan kita. Sekarang?
Ah, entahlah. Kini aku menanyai sendiri,
kenapa pisah?
Cuma mereka dan Tuhan yang tahu. Selebihnya,
hanya kata-kata “katanya” yang memenuhi otak kita, meracuninya dengan segala
prasangka.
Cuma satu yang aku tahu, aku sangat mencintai
wanita itu. Sangat mencintai.
Now Playing: Broken Vow
(titip rindu buat cinta, kenapa kamu pergi?)
Senin, 18 Maret 2013
AKU DAN NIKE ARDILLA
19 Maret adalah hari yang selalu kunantikan. Hari
dimana matahari bersinar begitu cerah, langit begitu terang, burung-burung pun
seakan berkicau merdu untukku. Tak jarang memang, kulalui hari itu dengan tanpa
hadiah satu pun. Namun, bukan itu yang kumau. Kerena bagiku, bahagia bukan
berarti penuh dengan kado, ucapan, dan surprise dari orang-orang terdekat.
Bukan, bukan itu…..
Meskipun begitu setiap tahun aku selalu menemui
sesuatu hal yang pasti ada di hari itu. Bukan, sekali lagi bukan karena
ucapan atau kado ulang tahun, tetapi karena Nike Ardilla.
Ya, karena dia.....
Selasa, 26 Februari 2013
Di Penghujung Februari
Assalamu’alaikum.
Februari mau abis ya.... nggak
nyangka.....
Saya nggak tahu harus ngomong
apa, harus nulis apa bulan ini. Tapi karena udah kadung kommit sebulan harus
“isi rumah” minimal 1 tulisan, ya udah....
Kadang emang gitu sih, kalo mau
apa-apa harus punya target yang jelas, supaya jelas juga gimana steps-nya, gimana caranya, dan gimana
ngukur kita udah bisa dikatakan sukses atau belum. Dan biasanya, hal yang
dilakukan dengan target itu nuntut kita untuk kerja lebih keras lagi, mikir
lebih sering lagi, dan itu bagus. Coba bayangin, perusahaan yang nggak punya
target, cepat atau lambat pasti bangkrut. Kenapa? Karena nggak ada ukuran pasti
mereka sukses atau enggak, dan nggak ada bilangan yang bisa mewakili kesuksesan
atau kegagalan mereka. Semuanya akan berjalan seperti air yang mengalir (:dari
atas kebawah).
Emang sih, kadang susah juga
untuk bisa menuhin target. Terutama yang berkaitan dengan pekerjaan. Deadline yang terjemahan saklek-nya adalah garis mati, bener-bener
bisa bikin kita mati. Terlebih tugas yang numpuk, yang bisa bikin kita sakit
jiwa. Hmm, kedengerannya nggak enak banget ya?
Minggu, 27 Januari 2013
10 Minutes
Ku pandangi dua lembar kertas di hadapanku. Lembar soal dan lembar jawab.
Hufft, aku jenuh dengan suasana di sini. Keheningan berbaur dengan sakit kepala
yang (anehnya) diderita oleh semua peserta di ruangan ini yang semakin
memperburuk “kejiwaan” kami. Dan yang lebih aneh lagi, sakit kepala itu selalu
datang saat tiba waktu ulangan. 90 Menit, waktu
itu selalu terasa begitu lama saat kami lalui itu ketika proses KBM biasa
berlangsung. Tapi ketika duduk di atas kursi ini, sembilan puluh menit itu
terasa begitu cepat. Dan aku baru menyadari akan satu keanehan lagi yang ada
padaku: lembar jawabku masih kosong, belum ada satu pun soal yang kuselesaikan.
Dan parahnya lagi,
waktu tersisa KURANG DARI 10 MENIT LAGI. My God!
Maka segera saja aku menaikkan
penaku, lalu mulai memainkannya di atas lembar jawabku. Aku meletakkan lembar
jawabku itu persis di atas lembar soal, dan itu artinya aku memilih jawaban
dengan membulatinya tanpa meneliti dulu soalnya dan memikirkan apakah jawabanku
itu sudah tepat atau belum. Bagaimana pun, waktuku kurang dari sepuluh menit
lagi dan aku harus sudah menyelesaikannya sebelum bel peringatan waktu kurang
dari lima menit lagi.
Kuperiksa jam dinding yang
menggantung di depan kelas, dan aku menghitung bahwa aku cuma butuh waktu
kurang dari tiga menit untuk “memilih semua jawaban yang kuanggap benar”. Ya,
aku rasa sudah benar apa yang baru saja kulakukan, sebab apa yang kulakukan itu
sudah sama dengan perintah soal yang jelas-jela tertulis di lembar soal: “Pilihlah jawaban yang
menurut Anda paling tepat!” dan bukan “jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan benar!”. Mungkin malaikat di kanan-kiriku juga sedang
menertawakanku.
Ya Tuhan, aku bosan. Bosan
tingkat tinggi. Kenapa aku harus menyelesaikan ini semua terlebih dahulu
sebelum aku dapat lulus dan “merdeka”?
Mengapa harus ada kertas ulangan, dan… ehm… aku
jadi penasaran, siapa sebenarnya yang mempunyai “ide gila” ini?
Hmm.… Akhirnya aku kembali
mengubah perkataanku, ternyata sembilan puluh menit itu lama sekali! Lalu, apa yang selama ini aku lakukan?
Tidur dan bermimpi? Ah,
entahlah.
Pada akhirnya sembilan puluh menit itu hilang
dan tak meninggalkan kesan apapun. Yang tertinggal hanyalah rasa kantuk tingkat
tinggi dan harap-harap cemas akan hasil ulanganku nanti.
-tanpa judul- :)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hari ini, akhirnya saya punya keberanian untuk meng-share tulisan ini. Di dalamnya ada kata-kata yang saya ganti, yaitu "dua puluh tahun" yang tadinya "belasan tahun". I'm looking forward for your advice, guys. Enjoy!
“Kita
Telah Sampai”
Mega
mengiringi perjalanan hari demi hari yang serasa begitu cepat,
Tak
terasa, dua puluh tahun sudah kita berjalan
Bersama
Menapaki
satu per satu langkah yang terkadang berat
Bersama
jua
Apapun
‘kan kita
lalui
Semata
karena cinta yang semakin meradang di hati
Menyeruak
di alam asing yang dingin, sepi
Seindah
janji sehidup-semati kepada Ilahi
Beribu
padang telah
kita lewati
Beribu
gelombang jua telah kita hadapi
namun
kini yang ada di depan mata ialah,
kebahagiaan
Dan
perlahan kita ‘kan
temui
Akhir
dari perjalanan panjang ini
Kau
dekap aku lalu kau kecup keningku
Lirih,
katamu
“kita
telah sampai”
Dan kini
biarkanlah
Anak-anak
kita
‘kan berlari menyusul
ayah-ibunya
Sementara
kita baru tersadar
Selama
ini, kita
Hidup penuh bahagia
> teruntuk
dua pahlawan yang ‘kan
hidup selamanya di hatiku
“Cinta
kalian-lah yang telah membuat semua ini, nyata….”
Langganan:
Postingan (Atom)