Selasa, 30 Agustus 2016

Nggak Ada Judul

Aku yang kadang invisible, atau kamu yang emang nggak bisa liat aku?

Bukan tentang cinta-cintaan ala anak muda. Bukan.

Entah, rasa tidak dilihat terkadang merasuki pikiran. Diam-diam aku merasa kalau bahkan orang-orang yang dekat tidak selalu terasa dekat.

Dulu sekali punya kakak kos yang sehobi. Dengannya aku bisa berbagi cerita tentang hobi, passion, cita-cita dan keinginan masa depan. Termasuk keinginan yang ini: jadi penulis. Dulu bisa cerita gitu ke dia karena aku tahu hobi kita sama: sama-sama lebih tertarik ke toko buku daripada mall atau bioskop. Hobi aneh kita sama: membuka segel buku dan membuka-buka buku baru. Bahagia versi kita adalah melihat koleksi buku semakin menebal, menumpuk sesak memenuhi space kamar kos. Terjejal di antara diktat kuliah, kamus, dan persediaan mie instan dan kopi susu. Senang sekali melihat kardus di kamar sudah bertambah—yang artinya koleksi makin banyak. Lalu lupa kalau menyimpan buku di dalam kardus dan meletakkannya di kolong tempat tidur sangatlah kejam, tidak aman, dan tidak sehat.

Dulu sekali dapat tugas bikin cerpen untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Malam-malam aku begadang demi mencipta mahakarya (setingkat anak SMA ‘newbie’), lalu sebelum dikumpulkan cerpen itu dibaca dulu oleh salah seorang teman. Dia berujar, “kayak cerpen betulan”. Dalam hati aku geram, “kamu kira cerpen jadi-jadian?”

Dulu sekali sering baca Suara Merdeka. Bukan langganan Bapak sih, tapi selalu datang di rumah. Maka nama-nama macam Budi Maryono, Aulia A Muhammad, Wiwien Wintarto bukan lagi nama asing. Aku mengenal mereka dari tulisan-tulisan mereka. Bahkan Gunawan Budi Susanto, Prof Retmono, atau Sendang Mulyana sudah jauh kukenal sebelum di masa depan jadi dosen-dosenku. Maka perjumpaan dengan mereka—bertahun-tahun setelah petualanganku hanya sampai pada harian spesial edisi minggu yang selalu datang tiap pagi—serupa momen pecah cangkang. Misterius, tak tertebak, dan ketika datang tiada rasa selain bahagia dan syukur.

Dulu sekali punya satu buku sakti yang selalu dibawa saat sekolah. Di jam istirahat akan ada satu-dua puisi yang tercipta, perlahan memenuhi halaman buku. Teman-teman sekelas akan kembali setelah jajan di luar lalu menanyakan judul puisi hari itu. Mereka akan membacanya—pelan-pelan karena aku tak mau satu sekolah tahu aku sok puitis. Dulu sekali buku itu jadi teman suka duka. Sampai akhirnya ia hilang diantara buku-buku sekolah yang harus dirapikan dan sekarang tak tahu di mana.
Sebelum ini ada teman yang akhirnya melihatku. Ia akhirnya membacaku, setelah bertahun-tahun percaya saja saat kubilang aku suka nulis—padahal tak pernah sekali pun membaca karyaku. Biarkanlah, biar saja dia tahu sekarang. Mungkin sekarang aku bisa ia lihat, setelah sekian lama tak kasat mata. Hihi.

Perahu kertasku terus berlayar, menanti jodoh untuk “anak-anakku” dan menunggu Keenan-ku pulang tentu saja…

tertanda, Kugy jadi-jadian.

Jumat, 12 Agustus 2016

#EdisiBelajarNulis Belajar dari JK Rowling #KarakterCerita

It’s always been tiring for me untuk membangun karakter tokoh. Buatku, picturing a character itu susah, harus natural or at least believable. Ketika nulis cerita, aku seringkali langsung nulis aja tanpa terlebih dahulu breakdown jalan cerita atau bikin outline. Itulah masalahnya. Imbasnya langsung kemana-mana. Ada aja karakter yang di tengah cerita jadi terkesan ngambang dan nggak kena. Kadang ada karakter yang “kehilangan jati diri”, ada yang kebolak-balik sehingga bingung sendiri “Kok si A jadi cengeng gini? Kok B jadi lebay gini? Ini C atau D sih?”