Aku yang kadang invisible, atau
kamu yang emang nggak bisa liat aku?
Bukan tentang cinta-cintaan ala
anak muda. Bukan.
Entah, rasa tidak dilihat
terkadang merasuki pikiran. Diam-diam aku merasa kalau bahkan orang-orang yang dekat tidak selalu terasa dekat.
Dulu sekali punya kakak kos yang
sehobi. Dengannya aku bisa berbagi cerita tentang hobi, passion, cita-cita dan
keinginan masa depan. Termasuk keinginan yang ini: jadi penulis. Dulu bisa
cerita gitu ke dia karena aku tahu hobi kita sama: sama-sama lebih tertarik ke
toko buku daripada mall atau bioskop. Hobi aneh kita sama: membuka segel buku
dan membuka-buka buku baru. Bahagia
versi kita adalah melihat koleksi buku semakin menebal, menumpuk sesak memenuhi
space kamar kos. Terjejal di antara
diktat kuliah, kamus, dan persediaan mie instan dan kopi susu. Senang sekali
melihat kardus di kamar sudah bertambah—yang artinya koleksi makin banyak. Lalu
lupa kalau menyimpan buku di dalam kardus dan meletakkannya di kolong tempat
tidur sangatlah kejam, tidak aman, dan tidak sehat.
Dulu sekali dapat tugas bikin
cerpen untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Malam-malam aku begadang demi mencipta
mahakarya (setingkat anak SMA ‘newbie’), lalu sebelum dikumpulkan cerpen itu
dibaca dulu oleh salah seorang teman. Dia berujar, “kayak cerpen betulan”.
Dalam hati aku geram, “kamu kira cerpen jadi-jadian?”
Dulu sekali sering baca Suara
Merdeka. Bukan langganan Bapak sih, tapi selalu datang di rumah. Maka nama-nama
macam Budi Maryono, Aulia A Muhammad, Wiwien Wintarto bukan lagi nama asing.
Aku mengenal mereka dari tulisan-tulisan mereka. Bahkan Gunawan Budi Susanto,
Prof Retmono, atau Sendang Mulyana sudah jauh kukenal sebelum di masa depan
jadi dosen-dosenku. Maka perjumpaan dengan mereka—bertahun-tahun setelah
petualanganku hanya sampai pada harian spesial edisi minggu yang selalu datang
tiap pagi—serupa momen pecah cangkang. Misterius, tak tertebak, dan ketika
datang tiada rasa selain bahagia dan syukur.
Dulu sekali punya satu buku sakti
yang selalu dibawa saat sekolah. Di jam istirahat akan ada satu-dua puisi yang
tercipta, perlahan memenuhi halaman buku. Teman-teman sekelas akan kembali
setelah jajan di luar lalu menanyakan judul puisi hari itu. Mereka akan
membacanya—pelan-pelan karena aku tak mau satu sekolah tahu aku sok puitis.
Dulu sekali buku itu jadi teman suka duka. Sampai akhirnya ia hilang diantara
buku-buku sekolah yang harus dirapikan dan sekarang tak tahu di mana.
Sebelum ini ada teman yang
akhirnya melihatku. Ia akhirnya membacaku, setelah bertahun-tahun percaya saja
saat kubilang aku suka nulis—padahal tak pernah sekali pun membaca karyaku.
Biarkanlah, biar saja dia tahu sekarang. Mungkin sekarang aku bisa ia lihat,
setelah sekian lama tak kasat mata. Hihi.
Perahu kertasku terus berlayar, menanti jodoh untuk “anak-anakku” dan
menunggu Keenan-ku pulang tentu saja…
tertanda, Kugy jadi-jadian.