Kamis, 08 Desember 2011

Aku dan Sekolah (1)


Tahun demi tahun telah berlalu. Kini aku bergumul dengan buku-buku pelajaran, pengayaan, jam tambahan, dan ujian. Tak terasa waktu terus berjalan. Alhamdulillah, dua tahun itu benar-benar cepat. Dan kini tinggal beberapa langkah lagi aku dapat menyelesaikan langkah ini. Langkah yang cukup berat, mengingat separuh hatiku sebenarnya tak ikhlas untuk ini. Tapi Alhamdulillah, Allah selalu dekat dan Dia selalu memberikanku ketenangan di kala aku merasa terlalu sibuk memikirkan tugas-tugas dan keharusanku lainnya di sekolah.

Ketenangan. Satu hal itulah yang selalu aku butuhkan. Aku butuh ketenangan. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri dan ketika hal itu datang aku membutuhkan Allah. Aku butuh dekat dengan-Nya, aku butuh bersandar sejenak pada-Nya untuk melepaskan segala beban yang ada di pikiranku. Aku butuh mengungkapkan segala kegelisahan hatiku, mengapa aku harus disini dan mengapa aku tak bisa keluar (sekolah).

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Aku telah membuktikan keyakinan yang selama ini tertancap di dalam hatiku; keyakinan bahwa Allah itu dekat dengan kita—asalkan kita mau mendekat pada-Nya. Juga keyakinan bahwa Allah itu (benar-benar) Maha Mendengar. Allah mendengar setiap perasaan yang tersirat di dalam relungku, mendengar setiap keluhanku (yang sebenarnya tak pantas bagi seorang hamba), mendengar setiap kata dan janji yang kuikrarkan, serta mendengarkan doa-doaku. Aku bersyukur pernah merasakan keindahan dapat berdialog dengan Allah dalam doaku, dan aku bersyukur aku masih mengalaminya hingga kini.

Ketenangan seperti yang kudamba itu tak pernah dunia perlihatkan kepadaku. Dunia ini terlalu sibuk dengan segala urusan dan tuntutannya sehingga terkadang aku merasa aku harus keluar dan meninggalkan semua ini, lalu berlari menuju tempat yang sepi. Disanalah hujan akan turun lewat sudut-sudut mataku, dan disana pulalah Allah mendengarkanku. Tak perlulah kusampaikan perihal hujan itu, sebab bagiku air mata terlalu berharga untuk diperlihatkan. Tapi aku ingin semua tahu, ketika hujan usai matahari akan datang membawa sinar dan pelangi yang begitu indah. Sedetik setelah itu, kita akan merasa tenang. Ya, kita akan tenang.

Ketenangan itu agaknya mulai membukakan mata hatiku yang dulu terpejam. Allah telah menetapkan hal ini atasku. Allah telah menetapkan bahwa aku harus melalui jalan ini, aku harus sekolah. Kini deru dan gelisah hatiku yang selama ini selalu memberontak untuk pergi, mulai sirna. Mungkin dulu, tiga tahun yang lalu—saat aku duduk di bangku kelas tiga SMP—pikiranku dikacaukan oleh jiwa remajaku yang masih labil. Akan tetapi, sekarang aku mulai sadar bahwa terkadang kita tak bisa memaksakan diri kita untuk meraih sesuatu yang kita inginkan sebab kita tak punya kuasa atas hal itu. Allah jauh lebih mengerti kita bahkan dibanding diri kita sendiri. Ego, emosi, tuntutan serta tekanan dari luar terkadang mampu memperdaya diri kita hingga kita tak dapat menahan apa yang seharusnya tidak kita lakukan.

Hati dan keinginanku seyogyanya masih sama seperti yang dulu. Akan tetapi, aku harus mengakui bahwa keinginan itu tak sekuat dulu. Bukan karena aku melupakannya, melainkan karena kini aku semakin sadar bahwa kita tak selalu harus menang. Aku sepenuhnya sadar bahwa aku adalah harapan kedua orangtuaku, aku adalah harapan keluargaku, aku adalah harapan orang-orang di sampingku. Tapi aku masih memiliki harapan untuk diriku sendiri. Kini aku memiliki keinginan lain yang meneruskan (kusebut demikian untuk tak menyebut mengganti) keinginanku dulu yang tak bisa terwujud. Aku tak bisa berhenti, aku tak bisa keluar. Aku harus menyelesaikan ini dengan baik agar orangtuaku dapat tersenyum (bangga) karena aku. Aku bahkan merasa bahwa aku tak bisa sepenuhnya jauh dari sekolah dan jauh dari pendidikan. Dunia inilah yang lantas kupilih. Pendidikan. Aku rasa ada yang salah dari sekolah, tetapi aku tak bisa menyalahkan sekolah begitu saja. Sekolah hanyalah sebagian kecil hal yang ada di dalam sistem pendidikan di negeri ini. Untuk itulah, aku tak pernah menyalahkan sekolah (serta semua hal didalamnya) atas segala hal yang kurisaukan selama ini. Mulai dari materi pelajaran, jam pelajaran, kurikulum, ujian nasional sampai “tuntutan” nilai—sadar tak sadar, di sekolah siswa diharuskan untuk dapat mencapai nilai minimum yang telah ditetapkan di setiap pelajaran—yang terkadang kurang manusiawi dan tak berpihak pada siswa. Selama ini, di sekolah siswa ditempatkan sebagai objek, bukan sebagai subjek belajar. Oleh karena itu, sebenarnya aku kurang setuju jika di sekolah kewajiban siswa adalah belajar sebab pada praktiknya siswa diajar oleh guru. Selain itu, hal lain yang kurisaukan adalah semakin mahalnya biaya pendidikan di negeri ini serta tak terjaminnya pekerjaan yang layak bagi lulusan sekolah menengah. Padahal, para orangtua telah bersusah payah menyekolahkan anak-anak mereka demi bisa melihat kesuksesan anak-anak mereka. Apa daya, karena biaya yang tak sedikit, mereka hanya bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai sekolah menengah saja. Sayangnya, dengan ijazah SMP atau SMA, betapa sulitnya mencari pekerjaan yang baik. Kalau pada akhirnya pemerintah tak bisa menjamin pekerjaan bagi setiap lulusan sekolah, mengapa sekolah tidak mengenalkan dan mengajarkan tentang dunia kewirausahaan pada siswa? Kalaupun ada, mengapa masih minim? Bukankah dengan modal wirausaha, kelak mereka dapat menyediakan lapangan kerja baru sehingga dapat lebih mandiri?

Nah, menurutku hal-hal seperti itu bukanlah kesalahan satu pihak yaitu sekolah. Ada yang mengatur sekolah dan yang mengatur tersebut adalah sistem. Jadi, kalau ada yang salah dari sekolah, sistemlah yang bisa memperbaikinya.

Aku rasa aku harus ambil bagian dalam memperbaiki hal ini. Aku tak mau sekolah dibiarkan semakin rusak keadaannya. Kita harus mengubah atau (setidaknya) memperbaiki sistem yang keliru. Kita harus menjadikan sekolah sebagai instansi pendidikan yang terjangkau, yang menempatkan siswa sebagai subjek, yang membebaskan siswanya mengeksplorasi bakat serta minatnya masing-masing, yang tak melulu menuntut setiap siswa memperoleh nilai di atas kriteria minimum, serta sekolah yang memanusiakan manusia.

Aku tak mungkin berhenti, aku tak mungkin keluar (sekolah). Namun aku juga tak mungkin membiarkan hal-hal yang tak sejalan dengan pikiranku itu terus tumbuh di sekolah. Jika di negeri ini pendidikan adalah sekolah dan sekolah adalah pendidikan (meskipun menurutku hal ini keliru) maka sesungguhnya setiap warga negara berhak untuk sekolah sebab setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Akan tetapi, bagaimana bisa setiap warga negara bersekolah jika biaya sekolah masih tinggi?

Pemalang, 26 November 2011