Kamis, 02 Juli 2015

Embun

Sebulir embun tak perlu menjadi salju untuk mendinginkan. Tak usah ia menjadi hujan untuk meneduhkan, tak pula harus ia menjadi samudera untuk kau selami.
Ia bahkan tak memerlukan sinar mentari untuk datang. Baginya, malam sunyi dan cahaya bulan yang temaram pun sudah cukup.
Ia tak perlu kembang api atau nyanyian tahun baru untuk hadir, sebab baginya senandung serangga di kebun-kebun tengah malam pun sudah cukup semarak.

Pada embun, belajarlah kau. Niscaya yang kau temukan hanyalah kebaikan, kesederhanaan, kebahagiaan, dan keikhlasan; sebab ia sudah harus pulang seiring datangnya sang mentari.
Semarang, 2 Juli 2015

Sabtu, 11 April 2015

Warna Yang Lain



Malam ini, deru suara hujan menjadi lagu kehidupan yang menemani suara-suara kecil dari perut anak-anak kos yang kelaparan. Jam memang sudah menunjukkan waktu untuk makan malam, tapi sepertinya kami harus menunda dulu menyuapi mulut-mulut kami yang buas karena lapar ini dengan sebungkus nasi kucingan. Di tengah kegelapan karena mati lampu seperti sekarang ini, siapa yang mau keluar gelap-gelap dan hujan-hujanan demi menuruti hawa nafsu (makan)?
Dan diantara kami, ada yang masih mengurai letih sebab baru saja kembali dari negerinya masing-masing. Sama sepertiku—kami semua—menderita kelaparan. Penyakit klasik khas anak kampus. Benar-benar menunjukkan loyalitas dan nasionalisme kami sebagai mahasiswa apabila kami menderita penyakit tersebut. Dan saat ini, kami amat sangat loyal pada status atau predikat kami tersebut.
Diantara gelap dan rinai-rinai hujan yang masih jua tinggal, ada satu lagi suara yang menghiasi malam dengan perih yang teramat di perut-perut kami ini. Suara itu adalah suara dengungan yang asalnya adalah dari kos bertingkat yang ada di samping kos kami. Tidak seperti kos kebanyakan, kos itu terbilang mahal dan mewah. Dan kemewahan itu salah satunya tercermin pada malam hari ini: disaat kosan lain gelap gulita bak kembali ke zaman penjajahan Belanda, wisma itu malah terang benderang disorot lampu genset. Suara dengungan genset itu terdengar sampai ke kosan kami, seakan menegaskan keberadaan kosan itu sebagai salah satu kos termewah.
Aku hanya menerawangi lilin yang jadi penerang satu-satunya. Diantara gelap macam ini, cahayanya bersinar terang. Meski tentu saja tak dapat mengalahkan cahaya dari sorot lampu yang harus jadi syarat wajib dari orang tuaku apabila aku akan membaca atau menulis, lilin kecil yang memendek itu jadi bukti bahwa akan selalu ada akar ketika tak ada rotan yang bisa ditemukan. Dan, meski tak semahal dan semodern lampu listrik, lilin selalu punya alasan sehingga kita akan selalu menyimpan beberapa batang di tempat tinggal kita.
Beberapa orang penghuni kos terdengar bercakap-cakap di ruang tamu. Bercerita, menurut mereka, bisa sedikit menyenangkan ketimbang berbaring tak jelas di atas kasur sambil menunggu kapan hujan reda dan lampu kembali menyala. Lagipula, perut yang kosong akan semakin berisik jika tak diajak untuk melakukan sesuatu.
Aku tak demikian tertarik untuk bergabung dengan mereka karena selain letihku masih menggantung di kedua belah mata, sendiri itu indah. Damai, tak ada yang mengusik, dan kita bisa melakukan apa saja yang bisa kita lakukan tanpa kuatir ada yang tak setuju. Itulah kenapa, aku lebih suka menghabiskan berjam-jam di dalam kamar tanpa sedikit pun keluar atau cepat-cepat kembali ke kos segera setelah kuliah selesai. Kamar tidur adalah ruang pribadi, semacam dunia yang kubuat sendiri.
Sementara itu, mati lampu—adalah magnet yang bisa merekatkan banyak orang, sehingga tak jarang kita temui mereka yang justru berkumpul dan hanyut dalam kebersamaan di tengah kegelapan. Ia juga adalah saat paling tepat untuk merayakan gelap sendirian. Ya, kesendirian akan lain rasanya jika lampu-lampu beterbaran di sekitarku, menawarkan cahaya dalam warna yang berlainan. Berbeda satu sama lain.
Dan lilin di depanku ini, menawarkan warna yang lain. Redupnya menjanjikan ketenangan, yang bahkan lampu semahal apapun takkan mampu mengalahinya.
Semarang, 27 Oktober 2012

Rabu, 08 April 2015

Malam Inspirasiku


Kopi. Malam. Payung Teduh. Kamu.
Ketika semuanya sudah hadir, maka bahagiaku hanya perlu dua hal lagi: pena dan lembar kertas. Oh, bolehlah kalau ditambah dengan rerintik gerimis yang tak kunjung reda. Maka jadilah, sempurnalah malam senduku. Malam inspirasiku.
Kopi.
Cangkir ini tidak selalu harus diisi dengan kopi hangat, bolehlah sekali-kali ia hadir bersama susu hangat, teh hangat, coklat hangat, atau jahe hangat. Ya, malam-malam di bukit seperti ini, apa saja, minumlah, asal hangat. Yang penting kau bisa merasa nyaman, dan bisalah kau lepas satu lapis kain dari tubuhmu itu.
Malam.
Ah, malam di perbukitan sungguhlah manis. Sangat istimewa. Apalagi jika tak diganggu oleh dengungan mesin kendaraan atau suara tangisan bayi. Malam itu, selain sejuk, juga menentramkan. Apalagi jika banyak orang di sekitar yang terlelap. Tapi inspirasiku tidak mati ketika malam berganti, biar pagi hadir inspirasi tetap bisa lahir. Hanya saja, malam itu lebih manis, romantis, begitu magis.
Payung Teduh.
Entah sudah berapa kali kuputar lagu itu. Berkali-kali, berulang-ulang, berputar selalu. Tak jenuh rasanya ditemani suara itu sembari menunggu inspirasiku pulang. Kali ini aku cinta mati pada “Menuju Senja”. Ah, cobalah sesekali kau dengarkan. Ada kicauan burung yang hinggap di tengah lagu. Begitu mendamaikan. Atau “Kita adalah Sisa Sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan” yang terasa sangat intim, sangat “kita”?
Kamu.
Bagaimana mungkin inspirasiku bisa hadir kalau kamu tak disini? Ya, kaulah syarat paling nomor satu itu. Kaulah pemegang kunci itu, satu-satunya orang yang bisa membuka pintu itu lalu menyambut masuk sang inspirasi. Biar kopi sudah diisi berulang kali, biar malam sudah berganti pagi dan pagi berubah lagi jadi malam, biar telingaku sampai merah dan kaset Payung Teduh jadi rusak gara-gara terlalu sering diputar, biar ada pena dan lembar kertas; kalau tak ada kamu yang menemani, dia takkan kembali. Dia tak jadi mampir. Dia sungkan untuk hadir, bahkan untuk sekadar mengetuk pintu. Buat apa inspirasiku susah payah datang kesini dan mengetuk pintu kalau ia takkan bisa masuk kecuali kamu yang menyambut?
Jadi, intinya, apa yang paling kubutuhkan untuk menyiapkan malam inspirasiku?
Aku cari kamu di setiap malam yang panjang, aku cari kamu kutemui kau tiada.... (payung teduh)
Semarang, 7 April 2015

Selasa, 31 Maret 2015

Angin



Tak tahukah ada derumu yang tinggal di relungku?
Membuatku selalu memuja musim gugur—dengan coklat keemasan yang jadi coraknya, dengan dedaunan yang luruh, dengan ratap sendu kehilangan sang hijau yang mendadak terasa begitu menentramkan–kapan lagi kau datang?
Aku rindu. Aku rindu pada sunyi dan gemuruh yang datang bergantian. Aku rindu melepas penat di tumpukan daun usang, aku rindu menatap kejauhan yang tampak menua.
Musim gugur memang aneh. Ia datang dengan warnanya yang berbeda, dengan nuansanya yang melankolis, terlalu pahit kalau ia berwujud secangkir kopi. Dunia mendadak tenang, disapu semilir yang begitu melenakan. Dingin. Sepi. Pahit. Daun gugur. Pohon tak berdaun, pohon tak berbunga. Apa-apaan ini semua?
Gawat. Justru semua hal itulah yang membuatku jatuh hati. Aku jatuh hati pada daun gugur; pada pohon tak berdaun, pohon tak berbunga. Aku jatuh hati pada sendu yang mampir empat bulan lamanya, aku jatuh hati pada secangkir kopi pahit kalau dia adalah sang gugur.
Jadi, Angin, tolong kali ini benar-benar duduk dan dengarkanlah aku:
Bawa aku. Aku ingin terbang bersamamu. Ingin hinggap aku di lembut belaianmu, yang menyisiri taman dan rerumputan, yang menggelitik jemari hampa pohon cemara yang meranggas.
Bawa aku. Hingga sampai aku di pucuk Himalaya. Sendiri. Ingin mendaki aku bersamamu, wahai Angin. Cuma kamu.
Bawa aku.
Pergi.
Terbang jauh.
Jauh.