Selasa, 31 Maret 2015

Angin



Tak tahukah ada derumu yang tinggal di relungku?
Membuatku selalu memuja musim gugur—dengan coklat keemasan yang jadi coraknya, dengan dedaunan yang luruh, dengan ratap sendu kehilangan sang hijau yang mendadak terasa begitu menentramkan–kapan lagi kau datang?
Aku rindu. Aku rindu pada sunyi dan gemuruh yang datang bergantian. Aku rindu melepas penat di tumpukan daun usang, aku rindu menatap kejauhan yang tampak menua.
Musim gugur memang aneh. Ia datang dengan warnanya yang berbeda, dengan nuansanya yang melankolis, terlalu pahit kalau ia berwujud secangkir kopi. Dunia mendadak tenang, disapu semilir yang begitu melenakan. Dingin. Sepi. Pahit. Daun gugur. Pohon tak berdaun, pohon tak berbunga. Apa-apaan ini semua?
Gawat. Justru semua hal itulah yang membuatku jatuh hati. Aku jatuh hati pada daun gugur; pada pohon tak berdaun, pohon tak berbunga. Aku jatuh hati pada sendu yang mampir empat bulan lamanya, aku jatuh hati pada secangkir kopi pahit kalau dia adalah sang gugur.
Jadi, Angin, tolong kali ini benar-benar duduk dan dengarkanlah aku:
Bawa aku. Aku ingin terbang bersamamu. Ingin hinggap aku di lembut belaianmu, yang menyisiri taman dan rerumputan, yang menggelitik jemari hampa pohon cemara yang meranggas.
Bawa aku. Hingga sampai aku di pucuk Himalaya. Sendiri. Ingin mendaki aku bersamamu, wahai Angin. Cuma kamu.
Bawa aku.
Pergi.
Terbang jauh.
Jauh.