Tak tahukah ada derumu
yang tinggal di relungku?
Membuatku selalu memuja
musim gugur—dengan coklat keemasan yang jadi coraknya, dengan dedaunan yang luruh, dengan ratap sendu kehilangan sang hijau yang mendadak terasa
begitu menentramkan–kapan lagi kau datang?
Aku rindu. Aku rindu pada
sunyi dan gemuruh yang datang bergantian. Aku rindu melepas penat di tumpukan
daun usang, aku rindu menatap kejauhan yang tampak menua.
Musim gugur memang aneh.
Ia datang dengan warnanya yang berbeda, dengan nuansanya yang melankolis,
terlalu pahit kalau ia berwujud secangkir kopi. Dunia mendadak tenang, disapu
semilir yang begitu melenakan. Dingin. Sepi. Pahit. Daun gugur. Pohon tak
berdaun, pohon tak berbunga. Apa-apaan ini semua?
Gawat. Justru semua hal
itulah yang membuatku jatuh hati. Aku jatuh hati pada daun gugur; pada pohon
tak berdaun, pohon tak berbunga. Aku jatuh hati pada sendu yang mampir empat
bulan lamanya, aku jatuh hati pada secangkir kopi pahit kalau dia adalah sang
gugur.
Jadi, Angin, tolong kali
ini benar-benar duduk dan dengarkanlah aku:
Bawa aku. Aku ingin
terbang bersamamu. Ingin hinggap aku di lembut belaianmu, yang menyisiri taman
dan rerumputan, yang menggelitik jemari hampa pohon cemara yang meranggas.
Bawa aku. Hingga sampai
aku di pucuk Himalaya. Sendiri. Ingin mendaki aku bersamamu, wahai Angin. Cuma
kamu.
Bawa aku.
Pergi.
Terbang jauh.
Jauh.