Kamis, 20 Juni 2013

Estetika (Tubuh) Perempuan, atau?



Saya baru saja selesai membaca salah satu tulisan Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) dalam bukunya Ngedan, Edan-edanan pada Zaman Edan yang saya dapatkan langsung dari penulisnya, gratis. Penting bagi saya menyertakan kata “gratis” sebab inilah kado pertama yang saya dapatkan dari hasil “ketikan tangan” sendiri. Maka, tak mungkin saya lewatkan kesempatan untuk meminta tanda tangan beliau.
Judul tulisan itu adalah Tubuh Perempuan: Medan Pertempuran Antarpedagang. Judul yang menarik perhatian, terutama karena saya perempuan. Tulisan tersebut mengulas tentang fenomena tubuh perempuan yang acap kali dijadikan senjata para pemasang iklan dalam mempromosikan produknya.
Termasuk, mengidentikkan perempuan dengan kata “cantik” sehingga usaha apapun akan dilakukan oleh perempuan demi memperbaiki penampilan diri. Lihat sajalah, betapa berbagai produk kecantikan mulai dari sabun, body lotion, parfum, kosmetik hingga krim wajah anti penuaan dini seakan menjadi hal wajib yang perempuan masukkan kedalam daftar belanjaannya. Simaklah pula bagaimana perempuan mendambakan tubuh bak boneka Barbie yang putih mulus, berambut panjang, berbibir sensual, dan LANGSING. Ketika Barbie dianggap sebagai sosok ideal perempuan cantik, yang terjadi selanjutnya adalah penghambaan perempuan terhadap lipstik, salon kecantikan, butik kelas atas, majalah fashion, serta diet ketat. Ya, cantik adalah Barbie, cantik adalah langsing, berkaki jenjang, dan wajah penuh goresan make-up. Cantik adalah seberapa sering Anda pergi ke salon, seberapa sering Anda berbelanja di mall, serta seberapa banyak koleksi aksesoris yang Anda punya.
Kosmetik. Seperangkat benda berharga yang “wajib punya” bagi sebagian besar perempuan. Mulai dari bedak (yang jenis dan fungsinya berbeda-beda), lipstik (yang istilah dan warnanya beragam), eye liner, eye shadow, maskara, perona pipi (saya lupa istilahnya apa), hingga pembersih dan penyegar yang dipakai setelah selesai menggunakan kosmetik. Kosmetik tak hanya menjajah wajah perempuan, tetapi juga sekujur tubuh. Lihatlah apa saja yang ada dalam satu set perawatan rambut, kulit, bahkan kuku. Semuanya dibuat selengkap dan sedetail mungkin. Malah, ada lotion yang khusus dipakai untuk membesarkan payudara. Ada-ada saja!
Saya selalu berpikir, kenapa sales yang diplot bergaya di samping mobil mewah itu pasti perempuan, padahal sales ada pula yang pria. Kini saya tahu, itu adalah strategi marketing. Agak lucu juga kalau model pria yang bersanding di samping mobil-mobil mahal. Hmm, sebentar. Apakah kelucuan yang saya tangkap ini akibat sudah terlalu menjamurnya fenomena perempuan sebagai daya tarik—sehingga muncul persepsi lucu apabila laki-laki menggantikan posisinya? Semisal, peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Sudah jadi hal wajar apabila tugas perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga sedangkan laki-laki keluar rumah untuk bekerja. Hal ini sudah diamini sekian juta orang sehingga agak aneh ketika hari ini kita melihat perempuan menjadi satu-satunya pemenuh kebutuhan keluarga. Padahal jika hal yang sebaliknya mulai terjadi sekian abad yang lalu, saat ini kita tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tabu, bukan?
Persoalannya adalah, perempuan itu “cantik”. Perempuan bisa menggantikan laki-laki mencari penghasilan diluar rumah, tetapi apakah laki-laki cukup “cantik” untuk dapat menggantikan perempuan berdiri disisi mobil mewah?
Saya ingat, salah seorang dosen saya pernah mengatakan bahwa perempuan itu indah, perempuan itu cantik. Setiap mili dalam tubuh perempuan mengandung keindahan. Hal inikah yang lantas dijadikan dalil utama menjadikan perempuan sebagai sarana marketing yang (pada kenyataannya) sukses?
Saya tidak bisa menyalahkan para kapitalis yang menjajah perempuan dengan cara menempatkannya sebagai objek hegemoni tersebut. Hal ini karena, jujur saja—perempuan menikmatinya, bukan? Memiliki tubuh langsing serta wajah yang menarik hasil kosmetik para kapitalis itu, lalu kemudian mau diplot bergaya ini-itu disamping produk yang dijajakan merupakan suatu bentuk penghargaan dan profesionalitas mereka sebagai (hanya) pekerja. Perempuan menganggap bahwa tubuh (maaf) seksi adalah sesuatu yang patut dibanggakan, dan oleh karena itu mereka mau menjadi representasi produk yang mereka wakili. Dan, jujur saja, lebih menarik melihat perempuan ketimbang melihat mobil-mobil mewah itu, bukan?
Fenomena ini tak hanya terjadi pada wilayah promosi dan iklan saja, melainkan juga merambah dunia audio-visual seperti film. Tokoh laki-laki sekaliber James Bond atau Ethan Hawke selalu dikelilingi oleh perempuan cantik nan (maaf) seksi. Tak hanya satu malah. Sementara tokoh utama perempuan, terutama perempuan independent pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari sosok laki-laki (seakan-akan perempuan pada akhirnya membutuhkan laki-laki). Lihat saja akting Angelina Jolie dalam “Salt” atau Emma Watson dalam “Harry Potter” yang akhirnya jatuh hati pada Ron Weasley, sahabatnya sendiri. Melalui film, sepertinya perempuan diajak untuk “tahu diri” bahwa mereka tetap butuh laki-laki. Maka, kepada siapa saya harus membenci dan menyalahkan ketika perempuan (lagi-lagi) menikmatinya?
Beberapa hari yang lalu, saya menonton film The Other Boleyn’s Girl yang menjadi tugas kuliah saya. Terlepas dari kontroversi yang mengiringi novel dan film tersebut, satu hal yang saya temukan: betapa hegemoni laki-laki terhadap perempuan telah berlangsung sejak lama, bahkan jauh lebih parah. Perempuan dianggap sebagai “alat” pemuas kebutuhan biologis dan sarana memperoleh keturunan belaka.
Hegemoni itu masih eksis hingga hari ini, hanya saja bentuknya yang dikemas dengan cara yang berbeda. Selain iklan dan film, yang nyata-nyata ada di sekitar kita ialah segala bentuk kontes kecantikan yang diikuti oleh perempuan-perempuan cantik. Para pendiri dan pelaksana kontes ini selalu berkilah bahwa cantik fisik saja tidaklah cukup, melainkan harus pula diimbangi dengan kecerdasan intelektual dan emosi. Untuk itulah kontes seperti ini dianggap penting, agar perempuan sadar bahwa kecantikan fisik semata tidaklah penting tanpa kecerdasan.  Akan tetapi, jika benar demikian, haruskah para peserta mengenakan baju superminim macam slimming suit dalam penilaian kebersihan? Tak adakah cara lain untuk mengukurnya selain memaksa tiap peserta memakai baju renang?
Hal lain yang menurut saya parah adalah gaya berpakaian perempuan-perempuan yang mengaku menutup aurat tapi tetap menonjolkan bagian tubuhnya. Lihatlah, betapa jilbab hanya diartikan sebagai “pakaian yang menutupi aurat” dan bukan “pakaian longgar yang tidak menampakkan bagian tubuh” sehingga banyak kita jumpai mereka yang masih bisa menggunakan celana superketat bahkan tanktopnya. Apakah skinny jeans ditambah kaus lengan pendek, decker, dan selembar kain yang membungkus kepala itu dinamakan jilbab?
Lagi, lagi dan lagi saya harus memakluminya dengan berkata, “Bukankah perempuan-perempuan itu menikmatinya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar