Saya
baru saja selesai membaca salah satu tulisan Kang Putu (Gunawan Budi Susanto)
dalam bukunya Ngedan, Edan-edanan pada
Zaman Edan yang saya dapatkan langsung dari penulisnya, gratis. Penting
bagi saya menyertakan kata “gratis” sebab inilah kado pertama yang saya dapatkan
dari hasil “ketikan tangan” sendiri. Maka, tak mungkin saya lewatkan kesempatan
untuk meminta tanda tangan beliau.
Judul
tulisan itu adalah Tubuh Perempuan: Medan Pertempuran Antarpedagang.
Judul yang menarik perhatian, terutama karena saya perempuan. Tulisan tersebut
mengulas tentang fenomena tubuh perempuan yang acap kali dijadikan senjata para
pemasang iklan dalam mempromosikan produknya.
Termasuk, mengidentikkan
perempuan dengan kata “cantik” sehingga usaha apapun akan dilakukan oleh
perempuan demi memperbaiki penampilan diri. Lihat sajalah, betapa berbagai
produk kecantikan mulai dari sabun, body
lotion, parfum, kosmetik hingga krim
wajah anti penuaan dini seakan menjadi hal wajib yang perempuan masukkan kedalam
daftar belanjaannya. Simaklah pula bagaimana perempuan mendambakan tubuh bak
boneka Barbie yang putih mulus, berambut panjang, berbibir sensual, dan
LANGSING. Ketika Barbie dianggap sebagai sosok ideal perempuan cantik, yang
terjadi selanjutnya adalah penghambaan perempuan terhadap lipstik, salon
kecantikan, butik kelas atas, majalah fashion, serta diet ketat. Ya, cantik
adalah Barbie, cantik adalah langsing, berkaki jenjang, dan wajah penuh goresan
make-up. Cantik adalah seberapa sering Anda pergi ke salon, seberapa sering
Anda berbelanja di mall, serta seberapa banyak koleksi aksesoris yang Anda
punya.
Kosmetik.
Seperangkat benda berharga yang “wajib punya” bagi sebagian besar perempuan.
Mulai dari bedak (yang jenis dan fungsinya berbeda-beda), lipstik (yang istilah
dan warnanya beragam), eye liner, eye shadow, maskara,
perona pipi (saya lupa istilahnya apa), hingga pembersih dan penyegar yang
dipakai setelah selesai menggunakan kosmetik. Kosmetik tak hanya menjajah wajah
perempuan, tetapi juga sekujur tubuh. Lihatlah apa saja yang ada dalam satu set
perawatan rambut, kulit, bahkan kuku. Semuanya dibuat selengkap dan sedetail
mungkin. Malah, ada lotion yang
khusus dipakai untuk membesarkan payudara. Ada-ada saja!
Saya
selalu berpikir, kenapa sales yang diplot bergaya di samping mobil mewah itu
pasti perempuan, padahal sales ada pula yang pria. Kini saya tahu, itu adalah
strategi marketing. Agak lucu juga kalau model pria yang bersanding di samping
mobil-mobil mahal. Hmm, sebentar. Apakah kelucuan yang saya tangkap ini akibat
sudah terlalu menjamurnya fenomena perempuan sebagai daya tarik—sehingga muncul
persepsi lucu apabila laki-laki menggantikan posisinya? Semisal, peran
perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Sudah jadi hal wajar apabila tugas
perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga sedangkan laki-laki keluar rumah
untuk bekerja. Hal ini sudah diamini sekian juta orang sehingga agak aneh
ketika hari ini kita melihat perempuan menjadi satu-satunya pemenuh kebutuhan
keluarga. Padahal jika hal yang sebaliknya mulai terjadi sekian abad yang lalu,
saat ini kita tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tabu, bukan?
Persoalannya
adalah, perempuan itu “cantik”. Perempuan bisa menggantikan laki-laki mencari
penghasilan diluar rumah, tetapi apakah laki-laki cukup “cantik” untuk dapat
menggantikan perempuan berdiri disisi mobil mewah?
Saya
ingat, salah seorang dosen saya pernah mengatakan bahwa perempuan itu indah,
perempuan itu cantik. Setiap mili dalam tubuh perempuan mengandung keindahan.
Hal inikah yang lantas dijadikan dalil utama menjadikan perempuan sebagai sarana
marketing yang (pada kenyataannya) sukses?
Saya
tidak bisa menyalahkan para kapitalis yang menjajah perempuan dengan cara
menempatkannya sebagai objek hegemoni tersebut. Hal ini karena, jujur
saja—perempuan menikmatinya, bukan? Memiliki tubuh langsing serta wajah yang
menarik hasil kosmetik para kapitalis itu, lalu kemudian mau diplot bergaya
ini-itu disamping produk yang dijajakan merupakan suatu bentuk penghargaan dan
profesionalitas mereka sebagai (hanya) pekerja. Perempuan menganggap bahwa
tubuh (maaf) seksi adalah sesuatu yang patut dibanggakan, dan oleh karena itu
mereka mau menjadi representasi produk yang mereka wakili. Dan, jujur saja,
lebih menarik melihat perempuan ketimbang melihat mobil-mobil mewah itu, bukan?
Fenomena
ini tak hanya terjadi pada wilayah promosi dan iklan saja, melainkan juga
merambah dunia audio-visual seperti film. Tokoh laki-laki sekaliber James Bond
atau Ethan Hawke selalu dikelilingi oleh perempuan cantik nan (maaf) seksi. Tak
hanya satu malah. Sementara tokoh utama perempuan, terutama perempuan independent pada akhirnya tak bisa
dilepaskan dari sosok laki-laki (seakan-akan perempuan pada akhirnya
membutuhkan laki-laki). Lihat saja akting Angelina Jolie dalam “Salt” atau Emma
Watson dalam “Harry Potter” yang akhirnya jatuh hati pada Ron Weasley,
sahabatnya sendiri. Melalui film, sepertinya perempuan diajak untuk “tahu diri”
bahwa mereka tetap butuh laki-laki. Maka, kepada siapa saya harus membenci dan
menyalahkan ketika perempuan (lagi-lagi) menikmatinya?
Beberapa
hari yang lalu, saya menonton film The
Other Boleyn’s Girl yang menjadi tugas kuliah saya. Terlepas dari
kontroversi yang mengiringi novel dan film tersebut, satu hal yang saya
temukan: betapa hegemoni laki-laki terhadap perempuan telah berlangsung sejak
lama, bahkan jauh lebih parah. Perempuan dianggap sebagai “alat” pemuas
kebutuhan biologis dan sarana memperoleh keturunan belaka.
Hegemoni
itu masih eksis hingga hari ini, hanya saja bentuknya yang dikemas dengan cara
yang berbeda. Selain iklan dan film, yang nyata-nyata ada di sekitar kita ialah
segala bentuk kontes kecantikan yang diikuti oleh perempuan-perempuan cantik. Para
pendiri dan pelaksana kontes ini selalu berkilah bahwa cantik fisik saja
tidaklah cukup, melainkan harus pula diimbangi dengan kecerdasan intelektual
dan emosi. Untuk itulah kontes seperti ini dianggap penting, agar perempuan
sadar bahwa kecantikan fisik semata tidaklah penting tanpa kecerdasan. Akan tetapi, jika benar demikian, haruskah
para peserta mengenakan baju superminim macam slimming suit dalam penilaian
kebersihan? Tak adakah cara lain untuk mengukurnya selain memaksa tiap peserta
memakai baju renang?
Hal
lain yang menurut saya parah adalah gaya berpakaian perempuan-perempuan yang
mengaku menutup aurat tapi tetap menonjolkan bagian tubuhnya. Lihatlah, betapa
jilbab hanya diartikan sebagai “pakaian yang menutupi aurat” dan bukan “pakaian
longgar yang tidak menampakkan bagian tubuh” sehingga banyak kita jumpai mereka
yang masih bisa menggunakan celana superketat bahkan tanktopnya. Apakah skinny
jeans ditambah kaus lengan pendek, decker, dan selembar kain yang membungkus
kepala itu dinamakan jilbab?
Lagi,
lagi dan lagi saya harus memakluminya dengan berkata, “Bukankah
perempuan-perempuan itu menikmatinya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar