Gila. Aku berada di titik paling jenuh sepanjang
delapan belas tahun berdiri di atas tanah baka ini. Parah, sungguh parah. Aku
tak lagi merasakan nikmatnya belajar, bergumul dengan tugas-tugas kuliah,
buku-buku pelajaran, handouts, dan segala macam tes serta ujian. Aku tak lagi
merasakan indahnya kata “semangat”, menguasai mata kuliah, mengejar passion.
Akh, kata yang terakhir itu, agaknya perlu pula aku ganti. Bukan lagi passion
yang saat ini sedang kususuri, yang saat ini sedang kukejar. Bukankah passion adalah sesuatu yang padanya
kita tak pernah lelah mengejar dan akan melakukan apapun untuk bisa meraihnya?
Sedangkan untuk sekedar membuka buku saja sudah membuatku mual. Kata “malas”
semakin menjalari tubuhku, mengikatnya erat-erat, membunuh setiap derajat rasa
“ingin” yang sisa-sisanya masih kupunyai.
Entahlah, tiba-tiba saja grammar, writing, listening,
reading, speaking, dan segala macam mata kuliah lain tak punya daya tarik lagi
barang secuil pun. Bukan grammar, writing, atau mata kuliah lain yang membuatku
sibuk; bukan mereka yang memampukan mataku untuk terbuka hingga larut malam
dengan semangat penuh yang mendidih di sekujur tubuh.
“Malas” mungkin menjadi akar penyebab dari masalah ini,
tetapi aku sadar bahwa tak mungkin selamanya menyalahkannya. Siapa yang
membiarkan rasa itu menghinggapi diri?
Gila. Sudah kucoba berbagai hal untuk melenyapkannya,
membunuhnya, lalu memastikan ia takkan bereinkarnasi lagi. Segala cara itu;
dari mulai mengingat lagi cita-cita menjadi guru, bicara dengan orang lain yang
kupercayai, hingga aktif mengikuti segala perkataan para motivator handal yang
eksis di dunia maya. Huh, nihil! Semuanya tak berhasil. Aku bisa berkata seribu
satu hal baik nan positif yang kukatakan pada diriku sendiri, tapi itu pun tak
pengaruh bagiku. Kini aku tahu, motivator sehebat apapun bisa mengatakan padamu
hal baik dengan caranya yang dahsyat, tapi tak mampu membangunkanmu jika kau
memang ingin tertidur pulas. Itulah aku!
Ada yang bilang, try to love what you do instead of do
what you love. Baiklah, aku coba.
.
.
.
.
Hasilnya... Aku justru mendurhakai diriku sendiri
dengan terus-menerus berkata “Hakku melakukan apa yang kusuka”. Semakin kuat
aku ingin keluar, semakin kuat lagi keinginan untuk berada di dalam. Maka
perang yang sesungguhnya tengah berkecamuk di dalam diriku. Parahnya, aku tak basa
melihat dengan jelas untuk membedakan mana ego dan mana yang bukan. Aku tak
tahu lagi di pihak mana aku berdiri untuk ikut melawan—karena aku tahu bahwa
aku akan melawan setengah diriku yang lain. Lagipula, sudut pandangku sudah membelok
sehingga kini yang terus kukatakan ialah “kuliah itu kewajiban, bukan
kesukaan”. Aku tidak melihat adanya keindahan dalam “mengikuti kuliah, membaca buku, mengerjakan tugas dan tes, lalu
mendapatkan IPK”. Nah, yang satu ini, membuatku makin gila. Aku masih takut
mendapatkan angka yang rendah, padahal di sisi lain selalu saja kukatakan bahwa
NILAI ITU ANGKA, DAN ANGKA ITU KUANTITAS, BUKAN KUALITAS. Angka selamanya
takkan bisa mewakili kualitas kita, tak akan pernah. Aku kuatir pada hasil
nilaiku di akhir semester nanti; kuatir bercampur takut. Ya, seharusnya itu
bisa mengubahku, setidaknya agar aku bisa bangun dan mulai membuka buku.
Tetapi, sebelum aku sempat berdiri, setengah jiwaku
bilang, “belajar itu kan di mana saja, tidak hanya di bangku kuliah, tidak
hanya soal menyelesaikan tugas dan mendapat nilai yang bagus.”
Jiwaku yang satunya menyanggah dengan berkata, “kau
sedang kuliah. Kau ada di dalam sistem itu. Ikuti sajalah, tak usah banyak
bicara.”
“Sudahlah, toh yang selama ini kau lakukan juga
belajar, kan? Hanya, kau belajar apa yang tak kau pelajari di dalam setiap
kuliahmu”, sisi yang ini selalu menang.
.
.
.
Kesimpulannya adalah.....
.
.
.
.
TERNYATA, JATUH CINTA ITU SULIT. Kenapa jadi sesulit
ini mencintai sesuatu yang dulu pernah AMAT SANGAT kucintai?
Gila, semuanya gila. Dan yang paling gila dari semua
ini adalah..... AKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar