Sabtu, 08 Juni 2013

Butuh Pencerahan



Gila. Aku berada di titik paling jenuh sepanjang delapan belas tahun berdiri di atas tanah baka ini. Parah, sungguh parah. Aku tak lagi merasakan nikmatnya belajar, bergumul dengan tugas-tugas kuliah, buku-buku pelajaran, handouts, dan segala macam tes serta ujian. Aku tak lagi merasakan indahnya kata “semangat”, menguasai mata kuliah, mengejar passion. Akh, kata yang terakhir itu, agaknya perlu pula aku ganti. Bukan lagi passion yang saat ini sedang kususuri, yang saat ini sedang kukejar. Bukankah passion adalah sesuatu yang padanya kita tak pernah lelah mengejar dan akan melakukan apapun untuk bisa meraihnya? Sedangkan untuk sekedar membuka buku saja sudah membuatku mual. Kata “malas” semakin menjalari tubuhku, mengikatnya erat-erat, membunuh setiap derajat rasa “ingin” yang sisa-sisanya masih kupunyai.
Entahlah, tiba-tiba saja grammar, writing, listening, reading, speaking, dan segala macam mata kuliah lain tak punya daya tarik lagi barang secuil pun. Bukan grammar, writing, atau mata kuliah lain yang membuatku sibuk; bukan mereka yang memampukan mataku untuk terbuka hingga larut malam dengan semangat penuh yang mendidih di sekujur tubuh.
“Malas” mungkin menjadi akar penyebab dari masalah ini, tetapi aku sadar bahwa tak mungkin selamanya menyalahkannya. Siapa yang membiarkan rasa itu menghinggapi diri?

Gila. Sudah kucoba berbagai hal untuk melenyapkannya, membunuhnya, lalu memastikan ia takkan bereinkarnasi lagi. Segala cara itu; dari mulai mengingat lagi cita-cita menjadi guru, bicara dengan orang lain yang kupercayai, hingga aktif mengikuti segala perkataan para motivator handal yang eksis di dunia maya. Huh, nihil! Semuanya tak berhasil. Aku bisa berkata seribu satu hal baik nan positif yang kukatakan pada diriku sendiri, tapi itu pun tak pengaruh bagiku. Kini aku tahu, motivator sehebat apapun bisa mengatakan padamu hal baik dengan caranya yang dahsyat, tapi tak mampu membangunkanmu jika kau memang ingin tertidur pulas. Itulah aku!
Ada yang bilang, try to love what you do instead of do what you love. Baiklah, aku coba.
.
.
.
.
Hasilnya... Aku justru mendurhakai diriku sendiri dengan terus-menerus berkata “Hakku melakukan apa yang kusuka”. Semakin kuat aku ingin keluar, semakin kuat lagi keinginan untuk berada di dalam. Maka perang yang sesungguhnya tengah berkecamuk di dalam diriku. Parahnya, aku tak basa melihat dengan jelas untuk membedakan mana ego dan mana yang bukan. Aku tak tahu lagi di pihak mana aku berdiri untuk ikut melawan—karena aku tahu bahwa aku akan melawan setengah diriku yang lain. Lagipula, sudut pandangku sudah membelok sehingga kini yang terus kukatakan ialah “kuliah itu kewajiban, bukan kesukaan”. Aku tidak melihat adanya keindahan dalam “mengikuti kuliah, membaca buku, mengerjakan tugas dan tes, lalu mendapatkan IPK”. Nah, yang satu ini, membuatku makin gila. Aku masih takut mendapatkan angka yang rendah, padahal di sisi lain selalu saja kukatakan bahwa NILAI ITU ANGKA, DAN ANGKA ITU KUANTITAS, BUKAN KUALITAS. Angka selamanya takkan bisa mewakili kualitas kita, tak akan pernah. Aku kuatir pada hasil nilaiku di akhir semester nanti; kuatir bercampur takut. Ya, seharusnya itu bisa mengubahku, setidaknya agar aku bisa bangun dan mulai membuka buku.
Tetapi, sebelum aku sempat berdiri, setengah jiwaku bilang, “belajar itu kan di mana saja, tidak hanya di bangku kuliah, tidak hanya soal menyelesaikan tugas dan mendapat nilai yang bagus.”
Jiwaku yang satunya menyanggah dengan berkata, “kau sedang kuliah. Kau ada di dalam sistem itu. Ikuti sajalah, tak usah banyak bicara.”
“Sudahlah, toh yang selama ini kau lakukan juga belajar, kan? Hanya, kau belajar apa yang tak kau pelajari di dalam setiap kuliahmu”, sisi yang ini selalu menang.
.
.
.
Kesimpulannya adalah.....
.
.
.
.
TERNYATA, JATUH CINTA ITU SULIT. Kenapa jadi sesulit ini mencintai sesuatu yang dulu pernah AMAT SANGAT kucintai?
Gila, semuanya gila. Dan yang paling gila dari semua ini adalah..... AKU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar