Selasa, 14 Mei 2013

Ibu Itu Masih Di Sana


Pikiran Na tiba-tiba saja melayang seketika melihat seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jalan itu sambil menengadahkan tangannya. Sekian meter lagi ia akan sampai di depan ibu itu, entah akan sama dengan sebagian besar orang yang dari tadi lewat begitu saja tanpa mempedulikannya, atau datang sebagai salah satu dari sedikit orang yang mendekati ibu itu lalu mengulurkan tangannya yang memegang beberapa keping uang recehan.

Na ingat pada ibu tua yang berkeliling menjajakan dagangan yang dipanggulnya di sepanjang area parkir dan tempat antri tiket Stasiun Poncol. Na ingat pada sekian bapak –bapak dan ibu-ibu lain yang akan selalu bisa ia jumpai di pinggir jalan sepanjang perjalanannya pulang ke Pemalang. Na juga ingat pada Mbah Mirah, tetangganya, yang hingga sepuh usianya masih enggan untuk ikut hidup bersama salah satu anaknya. Sehari-hari ia mencukupi kebutuhannya dengan mencari kayu dan daun untuk kemudian ia jual. Terkadang, tenaganya dibutuhkan untuk membantu di dapur saat salah seorang tetangga punya hajatan.
Na ingat, pada teman-temannya yang kini tak lagi bersekolah, pun pada adik-adik kelasnya yang juga putus sekolah. Ah, entahlah kehidupan macam apa yang suatu hari ia akan temukan ketika ia menjumpai mereka, semoga bukan kehidupan yang menyusahkan, bukan juga kehidupan yang menawarkan kebahagiaan sesaat.
Satu, dua, tiga...., langkah kakinya sudah keduluan menjauh sebelum sempat ia merogoh saku celananya yang di dalamnya Na yakin ada selembar uang dua ribu rupiah. Sayang, kakinya tak berhenti melangkah, pun pikirannya yang belum cukup kuat untuk menghentikannya.
Ia sama dengan orang yang lain, melangkah saja di depan wanita itu, lalu berlalu. Tanpa melirik sedikit pun, tanpa berhenti  sedetik pun.
Dan ia tiba-tiba merasa asing pada dirinya sendiri, yang kali ini tak sanggup menolehkan kepala lalu berbalik arah dan memberikan selembar uang itu pada ibu tua yang masih setia duduk di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar