Pikiran Na tiba-tiba saja
melayang seketika melihat seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jalan itu
sambil menengadahkan tangannya. Sekian meter lagi ia akan sampai di depan ibu
itu, entah akan sama dengan sebagian besar orang yang dari tadi lewat begitu
saja tanpa mempedulikannya, atau datang sebagai salah satu dari sedikit orang
yang mendekati ibu itu lalu mengulurkan tangannya yang memegang beberapa keping
uang recehan.
Na ingat pada ibu tua yang
berkeliling menjajakan dagangan yang dipanggulnya di sepanjang area parkir dan
tempat antri tiket Stasiun Poncol. Na ingat pada sekian bapak –bapak dan
ibu-ibu lain yang akan selalu bisa ia jumpai di pinggir jalan sepanjang
perjalanannya pulang ke Pemalang. Na juga ingat pada Mbah Mirah, tetangganya,
yang hingga sepuh usianya masih enggan untuk ikut hidup bersama salah satu
anaknya. Sehari-hari ia mencukupi kebutuhannya dengan mencari kayu dan daun
untuk kemudian ia jual. Terkadang, tenaganya dibutuhkan untuk membantu di dapur
saat salah seorang tetangga punya hajatan.
Na ingat, pada teman-temannya yang
kini tak lagi bersekolah, pun pada adik-adik kelasnya yang juga putus sekolah. Ah,
entahlah kehidupan macam apa yang suatu hari ia akan temukan ketika ia
menjumpai mereka, semoga bukan kehidupan yang menyusahkan, bukan juga kehidupan
yang menawarkan kebahagiaan sesaat.
Satu, dua, tiga...., langkah
kakinya sudah keduluan menjauh sebelum sempat ia merogoh saku celananya yang di
dalamnya Na yakin ada selembar uang dua ribu rupiah. Sayang, kakinya tak
berhenti melangkah, pun pikirannya yang belum cukup kuat untuk menghentikannya.
Ia sama dengan orang yang lain,
melangkah saja di depan wanita itu, lalu berlalu. Tanpa melirik sedikit pun,
tanpa berhenti sedetik pun.
Dan ia tiba-tiba merasa asing
pada dirinya sendiri, yang kali ini tak sanggup menolehkan kepala lalu berbalik
arah dan memberikan selembar uang itu pada ibu tua yang masih setia duduk di
sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar