Malam ini, deru
suara hujan menjadi lagu kehidupan yang menemani suara-suara kecil dari perut
anak-anak kos yang kelaparan. Jam memang sudah menunjukkan waktu untuk makan
malam, tapi sepertinya kami harus menunda dulu menyuapi mulut-mulut kami yang
buas karena lapar ini dengan sebungkus nasi kucingan. Di tengah kegelapan
karena mati lampu seperti sekarang ini, siapa yang mau keluar gelap-gelap dan
hujan-hujanan demi menuruti hawa nafsu (makan)?
Dan diantara
kami, ada yang masih mengurai letih sebab baru saja kembali dari negerinya
masing-masing. Sama sepertiku—kami semua—menderita kelaparan. Penyakit klasik
khas anak kampus. Benar-benar menunjukkan loyalitas dan nasionalisme kami
sebagai mahasiswa apabila kami menderita penyakit tersebut. Dan saat ini, kami
amat sangat loyal pada status atau predikat kami tersebut.
Diantara gelap
dan rinai-rinai hujan yang masih jua tinggal, ada satu lagi suara yang
menghiasi malam dengan perih yang teramat di perut-perut kami ini. Suara itu
adalah suara dengungan yang asalnya adalah dari kos bertingkat yang ada di
samping kos kami. Tidak seperti kos kebanyakan, kos itu terbilang mahal dan
mewah. Dan kemewahan itu salah satunya tercermin pada malam hari ini: disaat kosan
lain gelap gulita bak kembali ke zaman penjajahan Belanda, wisma itu malah
terang benderang disorot lampu genset. Suara dengungan genset itu terdengar
sampai ke kosan kami, seakan menegaskan keberadaan kosan itu sebagai salah satu
kos termewah.
Aku hanya menerawangi
lilin yang jadi penerang satu-satunya. Diantara gelap macam ini, cahayanya
bersinar terang. Meski tentu saja tak dapat mengalahkan cahaya dari sorot lampu
yang harus jadi syarat wajib dari orang tuaku apabila aku akan membaca atau
menulis, lilin kecil yang memendek itu jadi bukti bahwa akan selalu ada akar
ketika tak ada rotan yang bisa ditemukan. Dan, meski tak semahal dan semodern
lampu listrik, lilin selalu punya alasan sehingga kita akan selalu menyimpan
beberapa batang di tempat tinggal kita.
Beberapa orang
penghuni kos terdengar bercakap-cakap di ruang tamu. Bercerita, menurut mereka,
bisa sedikit menyenangkan ketimbang berbaring tak jelas di atas kasur sambil
menunggu kapan hujan reda dan lampu kembali menyala. Lagipula, perut yang
kosong akan semakin berisik jika tak diajak untuk melakukan sesuatu.
Aku tak demikian
tertarik untuk bergabung dengan mereka karena selain letihku masih menggantung
di kedua belah mata, sendiri itu indah. Damai, tak ada yang mengusik, dan kita
bisa melakukan apa saja yang bisa kita lakukan tanpa kuatir ada yang tak
setuju. Itulah kenapa, aku lebih suka menghabiskan berjam-jam di dalam kamar
tanpa sedikit pun keluar atau cepat-cepat kembali ke kos segera setelah kuliah
selesai. Kamar tidur adalah ruang pribadi, semacam dunia yang kubuat sendiri.
Sementara itu,
mati lampu—adalah magnet yang bisa merekatkan banyak orang, sehingga tak jarang
kita temui mereka yang justru berkumpul dan hanyut dalam kebersamaan di tengah
kegelapan. Ia juga adalah saat paling tepat untuk merayakan gelap sendirian.
Ya, kesendirian akan lain rasanya jika lampu-lampu beterbaran di sekitarku,
menawarkan cahaya dalam warna yang berlainan. Berbeda satu sama lain.
Dan lilin di
depanku ini, menawarkan warna yang lain. Redupnya menjanjikan ketenangan, yang
bahkan lampu semahal apapun takkan mampu mengalahinya.
Semarang, 27 Oktober 2012