BIAR aku ceritakan saat kali pertama aku
melihatmu. Dua tahun yang lalu. Waktu itu, aku melihat selembar kertas kosong
yang bersih. Rasanya seperti melihat langit yang cerah tanpa sedikit pun awan menggantung
di atas sana. Itulah kamu, yang kulihat waktu itu. Duduk diam dengan secangkir
kopi yang mendingin. Masih penuh, bahkan tak tersentuh olehmu. Aku tak tahu
kenapa aroma kopi hangat begitu memabukkan dan memuaskan hingga meminumnya
hingga habis adalah tabu bagimu. Dan aku tak tahu, kenapa kau mematung diri di
tengah keramaian pesta malam itu.
Jika kau bertanya, kenapa aku lantas
berjalan mendekatimu kala itu, jawabannya adalah karena aku melihat sebentuk
cahaya ada pada dirimu. Cahaya asing yang beberapa tahun belakangan baru
kusadari kutemukan pula di diriku. Aku takut pada cahaya itu, karena ia tak
kujumpai pada siapapun. Seperti yang kita berdua tahu, setiap orang punya
cahayanya sendiri dengan warnanya yang berbeda. Hijau, kuning, biru, dan merah
muda adalah warna yang paling sering kulihat pada orang-orang di sekelilingku.
Tapi ungu? Tidak, tidak ada yang punya warna itu.
Ya, tidak ada. Kecuali kau dan aku.
Karena itulah, saat kali pertama aku melihatmu duduk diam diantara sorot lampu
yang menyala-redup itu, aku mendekatimu. Aku tak tahu setan apa yang merasukiku
saat itu, tapi percayalah, itu hanya karena aku melihat warna yang sama dengan
cahayaku, ada pada dirimu.
Aku bukan paranormal, tapi bahkan
orang paling acuh sekalipun tahu kalau kau butuh teman. Seperti aku.
Tahun-tahun setelah aku menyadari cahaya itu, hari-hariku semakin sibuk hanya
untuk mencari warna yang sama di diri orang lain. Nihil, tak kujumpai apapun.
Yang ada hanyalah aku yang makin merasa terkukung, seakan tak ada lagi tempat
yang bagus untukku selain di pojok ruangan.
Menemukan cahaya yang sama adalah
magnet yang memampukan kakiku untuk melangkah lebih dekat dengan orang
tersebut. Kamu. Aku tak tahu kenapa kau tetap saja duduk—seakan sedang menunggu
seseorang atau sesuatu—tapi yang pasti, magnet itu telah mengantarkanku sedekat
ini denganmu, hingga aku bisa lebih jelas memandangi cangkir dengan kopi yang
mendingin itu, yang belum juga kau sentuh. Itulah alasanku kenapa kalimat
pertama yang kuajukan padamu adalah, “Kenapa belum juga disentuh? Lihat,
kopinya mendingin.”
Sedetik setelahnya, mata kita bertemu
dalam ruang hampa yang sunyi. Ya, kali pertama kau menatapku. Lagi-lagi aku
merasa asing dengan tatapan macam itu. Seakan ada sejuta lebih kata yang bisa
secara tiba-tiba kau ledakkan seperti bom, tapi menghilang. Kosong. Ya, kau
terlihat betul mencarinya ke berbagai sudut, tapi selalu gagal menemukannya.
Mataku berkata pada matamu, “Biar kubantu.” Matamu urung, enggan menjawab
tawaranku. Kau tak tahu, jarang sekali aku menawarkan bantuan seperti ini.
Kuulurkan tanganku untuk kali pertama
kepadamu, dan untuk sekian detik kau memaku diri dengan mata yang mematung ke
arah tanganku. Butuh waktu sekian detik sebelum kau akhirnya meraih, lalu menjabatnya
erat. Sangat kencang. Seakan tak mau mendengar seribu satu alasan yang
memungkinkanku meninggalkanmu.
Itu dulu. Dua tahun lalu. Sekarang,
tak kulihat lagi selembar kertas kosong atau langit tanpa awan di wajahmu. Dan
aku tak perlu lagi bertanya kenapa tak kau teguk kopi di hadapanmu itu. Sebab,
aku masih ingat jawabanmu kala itu:
“Nikmati dulu kepulan asap tipis yang menyeruak
dari mulut cangkir hingga habis. Aroma kopi tersimpan pada asapnya. Dan, kenapa
harus diminum ketika mencecap aromanya saja sudah cukup memabukkan?”
10 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar