Minggu, 08 Desember 2013

Mengikat Rasa, Menyibak Makna



BIAR aku ceritakan saat kali pertama aku melihatmu. Dua tahun yang lalu. Waktu itu, aku melihat selembar kertas kosong yang bersih. Rasanya seperti melihat langit yang cerah tanpa sedikit pun awan menggantung di atas sana. Itulah kamu, yang kulihat waktu itu. Duduk diam dengan secangkir kopi yang mendingin. Masih penuh, bahkan tak tersentuh olehmu. Aku tak tahu kenapa aroma kopi hangat begitu memabukkan dan memuaskan hingga meminumnya hingga habis adalah tabu bagimu. Dan aku tak tahu, kenapa kau mematung diri di tengah keramaian pesta malam itu.

Jika kau bertanya, kenapa aku lantas berjalan mendekatimu kala itu, jawabannya adalah karena aku melihat sebentuk cahaya ada pada dirimu. Cahaya asing yang beberapa tahun belakangan baru kusadari kutemukan pula di diriku. Aku takut pada cahaya itu, karena ia tak kujumpai pada siapapun. Seperti yang kita berdua tahu, setiap orang punya cahayanya sendiri dengan warnanya yang berbeda. Hijau, kuning, biru, dan merah muda adalah warna yang paling sering kulihat pada orang-orang di sekelilingku. Tapi ungu? Tidak, tidak ada yang punya warna itu.
Ya, tidak ada. Kecuali kau dan aku. Karena itulah, saat kali pertama aku melihatmu duduk diam diantara sorot lampu yang menyala-redup itu, aku mendekatimu. Aku tak tahu setan apa yang merasukiku saat itu, tapi percayalah, itu hanya karena aku melihat warna yang sama dengan cahayaku, ada pada dirimu.
Aku bukan paranormal, tapi bahkan orang paling acuh sekalipun tahu kalau kau butuh teman. Seperti aku. Tahun-tahun setelah aku menyadari cahaya itu, hari-hariku semakin sibuk hanya untuk mencari warna yang sama di diri orang lain. Nihil, tak kujumpai apapun. Yang ada hanyalah aku yang makin merasa terkukung, seakan tak ada lagi tempat yang bagus untukku selain di pojok ruangan.
Menemukan cahaya yang sama adalah magnet yang memampukan kakiku untuk melangkah lebih dekat dengan orang tersebut. Kamu. Aku tak tahu kenapa kau tetap saja duduk—seakan sedang menunggu seseorang atau sesuatu—tapi yang pasti, magnet itu telah mengantarkanku sedekat ini denganmu, hingga aku bisa lebih jelas memandangi cangkir dengan kopi yang mendingin itu, yang belum juga kau sentuh. Itulah alasanku kenapa kalimat pertama yang kuajukan padamu adalah, “Kenapa belum juga disentuh? Lihat, kopinya mendingin.”
Sedetik setelahnya, mata kita bertemu dalam ruang hampa yang sunyi. Ya, kali pertama kau menatapku. Lagi-lagi aku merasa asing dengan tatapan macam itu. Seakan ada sejuta lebih kata yang bisa secara tiba-tiba kau ledakkan seperti bom, tapi menghilang. Kosong. Ya, kau terlihat betul mencarinya ke berbagai sudut, tapi selalu gagal menemukannya. Mataku berkata pada matamu, “Biar kubantu.” Matamu urung, enggan menjawab tawaranku. Kau tak tahu, jarang sekali aku menawarkan bantuan seperti ini.
Kuulurkan tanganku untuk kali pertama kepadamu, dan untuk sekian detik kau memaku diri dengan mata yang mematung ke arah tanganku. Butuh waktu sekian detik sebelum kau akhirnya meraih, lalu menjabatnya erat. Sangat kencang. Seakan tak mau mendengar seribu satu alasan yang memungkinkanku meninggalkanmu.
Itu dulu. Dua tahun lalu. Sekarang, tak kulihat lagi selembar kertas kosong atau langit tanpa awan di wajahmu. Dan aku tak perlu lagi bertanya kenapa tak kau teguk kopi di hadapanmu itu. Sebab, aku masih ingat jawabanmu kala itu:
“Nikmati dulu kepulan asap tipis yang menyeruak dari mulut cangkir hingga habis. Aroma kopi tersimpan pada asapnya. Dan, kenapa harus diminum ketika mencecap aromanya saja sudah cukup memabukkan?”
10 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar