Kamis, 08 Desember 2011

Aku dan Sekolah (1)


Tahun demi tahun telah berlalu. Kini aku bergumul dengan buku-buku pelajaran, pengayaan, jam tambahan, dan ujian. Tak terasa waktu terus berjalan. Alhamdulillah, dua tahun itu benar-benar cepat. Dan kini tinggal beberapa langkah lagi aku dapat menyelesaikan langkah ini. Langkah yang cukup berat, mengingat separuh hatiku sebenarnya tak ikhlas untuk ini. Tapi Alhamdulillah, Allah selalu dekat dan Dia selalu memberikanku ketenangan di kala aku merasa terlalu sibuk memikirkan tugas-tugas dan keharusanku lainnya di sekolah.

Ketenangan. Satu hal itulah yang selalu aku butuhkan. Aku butuh ketenangan. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri dan ketika hal itu datang aku membutuhkan Allah. Aku butuh dekat dengan-Nya, aku butuh bersandar sejenak pada-Nya untuk melepaskan segala beban yang ada di pikiranku. Aku butuh mengungkapkan segala kegelisahan hatiku, mengapa aku harus disini dan mengapa aku tak bisa keluar (sekolah).

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Aku telah membuktikan keyakinan yang selama ini tertancap di dalam hatiku; keyakinan bahwa Allah itu dekat dengan kita—asalkan kita mau mendekat pada-Nya. Juga keyakinan bahwa Allah itu (benar-benar) Maha Mendengar. Allah mendengar setiap perasaan yang tersirat di dalam relungku, mendengar setiap keluhanku (yang sebenarnya tak pantas bagi seorang hamba), mendengar setiap kata dan janji yang kuikrarkan, serta mendengarkan doa-doaku. Aku bersyukur pernah merasakan keindahan dapat berdialog dengan Allah dalam doaku, dan aku bersyukur aku masih mengalaminya hingga kini.

Ketenangan seperti yang kudamba itu tak pernah dunia perlihatkan kepadaku. Dunia ini terlalu sibuk dengan segala urusan dan tuntutannya sehingga terkadang aku merasa aku harus keluar dan meninggalkan semua ini, lalu berlari menuju tempat yang sepi. Disanalah hujan akan turun lewat sudut-sudut mataku, dan disana pulalah Allah mendengarkanku. Tak perlulah kusampaikan perihal hujan itu, sebab bagiku air mata terlalu berharga untuk diperlihatkan. Tapi aku ingin semua tahu, ketika hujan usai matahari akan datang membawa sinar dan pelangi yang begitu indah. Sedetik setelah itu, kita akan merasa tenang. Ya, kita akan tenang.

Ketenangan itu agaknya mulai membukakan mata hatiku yang dulu terpejam. Allah telah menetapkan hal ini atasku. Allah telah menetapkan bahwa aku harus melalui jalan ini, aku harus sekolah. Kini deru dan gelisah hatiku yang selama ini selalu memberontak untuk pergi, mulai sirna. Mungkin dulu, tiga tahun yang lalu—saat aku duduk di bangku kelas tiga SMP—pikiranku dikacaukan oleh jiwa remajaku yang masih labil. Akan tetapi, sekarang aku mulai sadar bahwa terkadang kita tak bisa memaksakan diri kita untuk meraih sesuatu yang kita inginkan sebab kita tak punya kuasa atas hal itu. Allah jauh lebih mengerti kita bahkan dibanding diri kita sendiri. Ego, emosi, tuntutan serta tekanan dari luar terkadang mampu memperdaya diri kita hingga kita tak dapat menahan apa yang seharusnya tidak kita lakukan.

Hati dan keinginanku seyogyanya masih sama seperti yang dulu. Akan tetapi, aku harus mengakui bahwa keinginan itu tak sekuat dulu. Bukan karena aku melupakannya, melainkan karena kini aku semakin sadar bahwa kita tak selalu harus menang. Aku sepenuhnya sadar bahwa aku adalah harapan kedua orangtuaku, aku adalah harapan keluargaku, aku adalah harapan orang-orang di sampingku. Tapi aku masih memiliki harapan untuk diriku sendiri. Kini aku memiliki keinginan lain yang meneruskan (kusebut demikian untuk tak menyebut mengganti) keinginanku dulu yang tak bisa terwujud. Aku tak bisa berhenti, aku tak bisa keluar. Aku harus menyelesaikan ini dengan baik agar orangtuaku dapat tersenyum (bangga) karena aku. Aku bahkan merasa bahwa aku tak bisa sepenuhnya jauh dari sekolah dan jauh dari pendidikan. Dunia inilah yang lantas kupilih. Pendidikan. Aku rasa ada yang salah dari sekolah, tetapi aku tak bisa menyalahkan sekolah begitu saja. Sekolah hanyalah sebagian kecil hal yang ada di dalam sistem pendidikan di negeri ini. Untuk itulah, aku tak pernah menyalahkan sekolah (serta semua hal didalamnya) atas segala hal yang kurisaukan selama ini. Mulai dari materi pelajaran, jam pelajaran, kurikulum, ujian nasional sampai “tuntutan” nilai—sadar tak sadar, di sekolah siswa diharuskan untuk dapat mencapai nilai minimum yang telah ditetapkan di setiap pelajaran—yang terkadang kurang manusiawi dan tak berpihak pada siswa. Selama ini, di sekolah siswa ditempatkan sebagai objek, bukan sebagai subjek belajar. Oleh karena itu, sebenarnya aku kurang setuju jika di sekolah kewajiban siswa adalah belajar sebab pada praktiknya siswa diajar oleh guru. Selain itu, hal lain yang kurisaukan adalah semakin mahalnya biaya pendidikan di negeri ini serta tak terjaminnya pekerjaan yang layak bagi lulusan sekolah menengah. Padahal, para orangtua telah bersusah payah menyekolahkan anak-anak mereka demi bisa melihat kesuksesan anak-anak mereka. Apa daya, karena biaya yang tak sedikit, mereka hanya bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai sekolah menengah saja. Sayangnya, dengan ijazah SMP atau SMA, betapa sulitnya mencari pekerjaan yang baik. Kalau pada akhirnya pemerintah tak bisa menjamin pekerjaan bagi setiap lulusan sekolah, mengapa sekolah tidak mengenalkan dan mengajarkan tentang dunia kewirausahaan pada siswa? Kalaupun ada, mengapa masih minim? Bukankah dengan modal wirausaha, kelak mereka dapat menyediakan lapangan kerja baru sehingga dapat lebih mandiri?

Nah, menurutku hal-hal seperti itu bukanlah kesalahan satu pihak yaitu sekolah. Ada yang mengatur sekolah dan yang mengatur tersebut adalah sistem. Jadi, kalau ada yang salah dari sekolah, sistemlah yang bisa memperbaikinya.

Aku rasa aku harus ambil bagian dalam memperbaiki hal ini. Aku tak mau sekolah dibiarkan semakin rusak keadaannya. Kita harus mengubah atau (setidaknya) memperbaiki sistem yang keliru. Kita harus menjadikan sekolah sebagai instansi pendidikan yang terjangkau, yang menempatkan siswa sebagai subjek, yang membebaskan siswanya mengeksplorasi bakat serta minatnya masing-masing, yang tak melulu menuntut setiap siswa memperoleh nilai di atas kriteria minimum, serta sekolah yang memanusiakan manusia.

Aku tak mungkin berhenti, aku tak mungkin keluar (sekolah). Namun aku juga tak mungkin membiarkan hal-hal yang tak sejalan dengan pikiranku itu terus tumbuh di sekolah. Jika di negeri ini pendidikan adalah sekolah dan sekolah adalah pendidikan (meskipun menurutku hal ini keliru) maka sesungguhnya setiap warga negara berhak untuk sekolah sebab setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Akan tetapi, bagaimana bisa setiap warga negara bersekolah jika biaya sekolah masih tinggi?

Pemalang, 26 November 2011

Jumat, 14 Oktober 2011

Di Persimpangan Jalan


Kali ini aku berdiri di persimpangan jalan. Entahlah, aku tak tahu lagi harus melangkahkan kaki ini kemana lagi. Aku risau. Sepanjang hidup seringkali aku menemukan jalan yang berkelok seperti ini. Seringkali pula aku bisa memilih jalan itu dengan baik hingga perjalananku serasa makin ringan saja. Akan tetapi kali ini, entahlah, aku benar-benar risau. Hatiku bilang “ke kanan”, tetapi pikiranku bilang “kenapa tak coba ke kiri?”. Sementara itu orang-orang mulai ramai memperbicangkan aku, sambil berteriak padaku tentang kemana aku harus meneruskan langkah ini. Kata mereka “kenapa kau tak ikuti saja arah pikiranmu, ke kiri? Kau terlalu mencintai hatimu hingga kau selalu mendengarkannya. Kali ini, cobalah dengarkan pikiranmu. Mungkin kali ini, dia benar”. Tak cukup sampai di situ saja, mereka bahkan menyuruhku untuk memilih jalan sesuai kehendak mereka. Beberapa dari mereka berkata “kanan”, tapi tak sedikit juga yang berteriak “kiri”. Aku semakin risau. Hari semakin siang, matahari menyengat dengan teriknya. Bagaimanapun aku tak boleh terlalu lambat berjalan hanya karena persimpangan jalan ini. Lalu aku bertanya pada telingaku. Namun aku tersadar bahwa aku memiliki dua daun telinga, dan berada di sisi yang berseberangan. Yang kanan berkata “Ke kanan, kita harus ke kanan. Sepertinya ada hal baru yang akan kau temukan”. Sementara itu telinga kiriku berkata, “Tidak ke kiri saja. Sepertinya kau akan beruntung di sana”. Ah, sia-sia. Mereka hanya berpihak pada apa yang mereka dengar, meskipun hanya ada satu sisi yang mereka dengarkan. Aku menundukkan kepala. Kutanya pada kedua kakiku, tapi mereka tak memberikan jawaban pasti dan hanya berkata bahwa mereka akan patuh sepenuhnya pada perintahku, tuannya. Kutanya pada mataku, lalu mereka segera memandang ke arah dua sisi jalan ini. Di kiri, dunia begitu ramai, tapi di kanan dunia begitu nyaman. Namun setelah memandangi kedua arah jalan ini, mereka malah memejamkan diri mereka. Tak ada jawaban pasti. Akan tetapi ketika mataku terpejam itu, aku lantas teringat pada ucapan seseorang yang kukenal, seseorang yang amat kusayangi. Dia pernah berkata, “jauh di dalam hatimu ada terang cahaya yang dikirim Tuhan pada setiap diri kita. Ikuti apa katanya, maka kau kan temukan dirimu apa adanya. Ingat, hati itu tak pernah berdusta”.
***
Pemalang, 9 September 2011

Dua Tahun Lagi!



S
ayang sekali aku harus melewati malam ini di sini juga. Dan perjalanan hari ini akan berakhir di tempat yang sama pula. Dan esok aku harus sudah kembali ke dunia asalku, tempat dimana aku benar-benar telah lelah dan suntuk menghadapi semua ini, dan — sekali lagi — sayang sekali aku harus tinggal di sana untuk waktu yang relatif lama bagiku: dua tahun.

Memang bukan masalah jika Anda melewati waktu itu bersama teman-teman Anda, dalam suasana kegembiraan dan tanpa beban. Namun hal itu tak terjadi padaku. Dua tahun itu harus kujalani dengan setumpuk rasa sesal, secangkir kemarahan yang — sayang sekali harus kuminum setiap hari. Maka dengan semua itu, aku yakin, siapa pun Anda akan merasa berjalan selama dua puluh tahun meskipun orang-orang bilang itu hanya dua tahun.

Ya, itu pulalah alasanku untuk tetap tinggal. Seringkali aku sendirian, termenung, lalu berujar pada diriku sendiri; dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Begitu seterusnya sampai aku bosan mendengarkan ucapanku sendiri.

Karena menurutku, saat Anda mengulang perkataan Anda sebanyak mungkin, maka yang Anda katakan itu bisa menjadi doa yang mujarab untuk diri Anda sendiri. Dan aku berujar (memohon) pada Tuhanku, “Ya Tuhanku, jadikanlah waktu selama itu menjadi cepat bagiku, dan jika ia masih tetap lama, maka tetapkanlah aku dan hatiku di atas jalan dan rencana-Mu”.

Dan di saat malam mulai mengenakan kerudung hitamnya, dan dingin mulai menyapa di tengah kesepian lewat lembutnya angin malam, aku bermimpi. Mimpiku tetap saja sama. Suatu hari nanti aku dapat terbang, lalu hinggap dari pohon yang satu ke pohon lainnya, sampai aku menemukan pohon besar yang nyaman untukku, lalu akan kubuat sarang di antara dahan-dahannya. Di sanalah aku akan tinggal, menyanyi sepanjang hari, di pagi hari, siang, malam, sampai larut malam menutup mataku. Saat aku terbang, aku ringan di atas awan. Terbang membubung tinggi, lepas kendali, lalu melayang lagi, seolah aku dapat berenang di udara. Bebas!

Sayang sekali kenyataan harus lebih pahit ketimbang mimpi di awang-awang. Hingga aku berada di dalam situasi dimana mau tak mau aku harus meragukan kekuatan mimpi yang pernah diceritakan oleh orang-orang besar. Aku harus menerima hidupku apa adanya, karena begitulah cara manusia bersyukur pada Tuhannya — begitu kata orang-orang — padahal menurutku hal itu lebih mirip pasrah dan pesimistis ketimbang bersyukur kepada Tuhan. Sebab, yang aku tahu, ada dua hal yang kita terima dari Tuhan, yang pertama kenikmatan, yang lainnya musibah. Jika yang terima itu kenikmatan, baiklah untuk kita mensyukurinya dan menerima apa adanya. Namun jika kita justru menerima yang kedua, sulit rasanya jika kita hanya menerima apa adanya tanpa sedikit pun berusaha untuk mengubahnya. Sebab itulah cara Tuhan mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk selalu mengingatnya. Dengan cara itulah Tuhan mengerti seberapa besar iman kita pada-Nya, dan dengan itu pulalah Tuhan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan derajat umat-Nya atau merendahkan-(derajat)-nya.

Aku ingin setia pada Tuhan, ingin mencintai-Nya, ingin mengagungkan-Nya. Sebab aku melihat (kebesaran)-Nya. Aku telah mendengar bukti akan kebenaran-Nya, dan aku amat rindu kepada-Nya.

Aku ingin mencintai kehidupan dan seisinya. Sebab dengan cara itulah aku mencntai-Nya, dengan cara itulah aku membuka ruang hatiku lalu membiarkan kesedihan-kesedihan itu berlalu sebab aku telah memenuhi rinduku dengan bertemu dengan-Nya.

Tapi ini sulit, sulit untukku mencintai kehidupan jika aku tetap tinggal di sini. Sulit untukku menemukan kelapangan hatiku, bahagianya diriku, dan terpenuhinya mimpi-mimpiku; di sini. Aku sadar sepenuhnya bahwa ini bukanlah apa yang aku mau, bahwa ini bukanlah pilihanku. Aku tak bahagia di dalamnya. Aku terdesak, kesakitan, menangis, sendirian. Aku terjatuh, terjerembab, dan terikat. Aku tak merasakan apa yang orang-orang sebut dengan kenyamanan, sedangkan aku belum tahu apa arti kata itu sebab aku belum pernah merasakannya.

Sayang sekali, lagi-lagi bibirku yang mulai kaku ini harus berujar, dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Setelah dua tahun itu berlalu, ya, suatu hari nanti, Tuhan akan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan (derajat)ku atau merendahkannya; dan mimpiku kelak ‘kan terwujud, aku akan bernyanyi siang-malam, terbang ringan di atas awan, membubung tinggi, jatuh, lalu terbang lagi, seolah-olah aku dapat berenang di udara. Dua tahun lagi, ya, dan itu cepat!

Pml, 31 Oktober 2010

Kamis, 14 April 2011

Lupa

Mungkin aku telah lupa, lupa pada mereka semua….
Aku tak tau kenapa hal ini bisa terjadi padaku. Bayangan mereka selalu nampak, dulu bercahaya. Namun kini, bayangan itu semakin mengendap, keruh dan beku. Pandanganku selalu diliputi oleh kabut ketika hendak mengingat hal itu kembali. Ya, dunia mungkin telah berubah untukku. Aku bukan lagi seorang anak yang berdiri sendirian di tengah keramaian. Aku bukan lagi menjadi seorang yang selalu kesepian, juga bukan lagi menjadi seorang yang selalu berlari ke sudut ruangan lalu menangis sendirian sementara yang lain bahagia. Kini, kebahagiaanku mulai merekah dan berkembang. Aku selalu bersama orang-orang yang selalu ada di sampingku. Kehidupan mulai berbalik secara perlahan. Akan tetapi, ketakutanku yang lainnya terjadi.
Dulu aku selalu memikirkan mereka, membayangkan apa yang sedang mereka lakukan sementara aku sedang sekolah. Dulu aku selalu merasa dunia itu sungguh jahat, sungguh tak adil. Dulu aku ingin keluar lalu berlari dan menemukan mereka. Aku ingin ada di samping mereka, ingin ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Dan dulu, aku merasa begitu berdosa ketika mendapati apa yang saat itu kujalani tak sebanding dengan apa yang sedang mereka jalani. Aku selalu kuatir pada apa yang mereka lakukan, selepas menanggalkan atribut sekolah dan menjadi orang yang putus. Putus sekolah. Hari-hari selalu kulalui dengan bayangan wajah mereka yang begitu jelas di ingatanku. Satu tahun berlalu, semuanya semakin berubah.
Kemana bayangan yang selalu kuingat itu? Kemana larinya ingatan masa lalu itu, saat bersama mereka? Kenapa aku hampir kehilangan “mereka”?
Apakah ini yang disebut lupa? Ya Allah, sungguh aku tak mau hal ini terjadi. Sungguh aku tak mau menjadi seseorang yang hanya ingat saat menderita lalu kembali lupa saat aku mulai bahagia. Lalu apa, apa namanya perasaan ini? Apa namanya jika aku mulai kehilangan airmataku yang dulu selalu menjadi sumber kekuatanku? Masih mampukah aku berdiri tanpa kekuatan itu?
Ya Allah, jika dapat aku kembali, mungkin aku ‘kan memilih satu tahun yang lalu. Di saat aku masih bisa mendengar kabar dan mengetahui keadaan mereka, di saat bayangan itu masih nampak jelas, dan di saat aku begitu dekat pada-Mu, meskipun aku harus sendiri. Kini, masihkah aku menjadi hamba yang setia pada-Mu? Mengapa aku juga kehilangan kekuatan untuk selalu ingin tetap tinggal di dekat-Mu?
Ya Allah, pilihkanlah yang terbaik bagiku. Kumohon, kiranya Engkau juga berkenan memilihkan yang terbaik bagi teman-temanku, mereka. Lindungilah kami dalam dekapan agama-Mu, tetapkanlah hati kami pada apa yang Engkau ridhoi, serta jauhkanlah kami dari sifat tercela dan munkar. Sebab kami begitu takut, Ya Allah, kami begitu takut jika suatu saat nanti kami lupa pada-Mu, kami lupa pada orang lain, termasuk pada orang tua dan teman-teman kami; serta lupa pada diri kami sendiri. Jangan biarkan kami tersesat di jalan kehidupan fana ini, Ya Rabb. Jangan biarkan kami jauh dari-Mu. Ampunilah kami atas dosa dalam hati kami, dalam lisan kami, dalam mata kami, telinga kami, tangan kami, serta kaki kami. Hanya Engkau-lah yang tau apa yang ada di dalam hati kami. Amien,,,,

Pemalang, 6 April 2011

Menjadi Seorang Pahlawan

That a hero lies in you. Kata-kata itu begitu terpatri dalam diriku, seakan begitu tenggelam di kedalaman hatiku. Setiap manusia adalah hero, pahlawan. Setiap manusia dilahirkan sebagai seorang pahlawan, meskipun itu pahlawan bagi dirinya sendiri. Ya, dan dalam hidup, tantangan berkembang seiring dengan dewasanya seseorang, menguji seberapa besar jiwa pahlawan di dalam dirinya, sambil melatih kepekaan pada hidup dan sekelilingnya. Orang-orang yang terbiasa menghadapi tantangan dalam hidupnya akan menjadi seseorang yang lebih kuat dan tegar dibanding orang yang hidupnya biasa-biasa saja. Orang-orang yang terbiasa menemukan persoalan dan ujian dalam hidupnya akan menjadi seseorang yang survive, yang mampu bertahan, sebab ia telah terbiasa melatih keberanian serta siap menghadapi hal apapun di dunia ini, meskipun hal itu adalah yang terburuk sekali pun. Maka berbahagialah orang yang dalam hidupnya selalu penuh dengan masalah dan tantangan, sebab di balik itu semua Tuhan telah menyediakan tempat yang lapang di sisi-Nya kelak. Maka berbahagialah mereka yang dengan tangguh telah menjawab tantangan Tuhan, namun dengan rendah diri menyerah di hadapan-Nya. Berbahagialah bagi mereka yang masih menggaungkan nama Tuhan di kala ia telah melewati tantangan yang begitu berat dan besar. Berbahagialah, karena mereka itulah yang mampu menunjukkan bahwa di dalam dirinya masih ada jiwa seorang pahlawan. Pahlawan bagi dirinya, pahlawan bagi orang lain.
Kita pasti pernah jatuh, ya, setiap orang pasti pernah jatuh. Namun bukan berarti kita lemah. Seseorang yang pernah jatuh, bukan berarti ia kehilangan jiwa pahlawannya. Jiwa sebagai pahlawan tetap ada pada dirinya, dan akan selalu ada, tergantung ia mau menggunakannya atau tidak. Kebanyakan dari kita tak sadar, bahwa setiap pahlawan pasti pernah merasa lemah dan tak punya daya. Kebanyakan dari kita juga lupa, bahwa di saat kita jatuh bahkan tenggelam, Tuhan masih punya kekuatan untuk menolong kita, bahkan menaikkan (derajat) kita. Bukankah Tuhan tak pernah menguji hamba-Nya lebih berat dari kemampuan hamba itu sendiri?
Masih ada Tuhan. Ia yang akan menolong kita, mengeluarkan kita dari cobaan-cobaan itu, bahkan juga akan menaikkan derajat kita. Asalkan kita mau mengingat-Nya, setia mendekat pada-Nya, dan bersandar pada-Nya dalam bahagia maupun masalah. Ingatlah Ia seolah kita akan mati besok, tetapi lanjutkan hidup seolah kita akan hidup selamanya. Mendekatlah pada-Nya seolah kita berada dalam masa paling sulit dalam hidup kita, ingatlah saat-saat kita jatuh, saat kita butuh sandaran untuk menangis. Tuhan akan memberikannya.
Ketahuilah, kita terlalu sering menengok ke belakang atau ke atas; kita terlalu sering berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan, dengan dada yang dibusungkan dan berjinjit, seakan tak mau tahu pada apa yang terjadi di sekitar kita. Yang terpenting adalah keberhasilan dan kebahagiaan diri kita sendiri. Cobalah, Teman, sekali saja, palingkan pandanganmu ke depan, sebagai tanda akan optimisme dan kepercayaan diri yang kuat yang ada pada dirimu. Palingkan pandanganmu ke bawah, lihatlah, masih banyak yang butuh bantuanmu. Masih banyak yang lebih bersedih daripada dirimu. Lalu tengoklah mereka, yang ada di sampingmu; mereka yang setia menemanimu dalam setiap do’a yang dipanjatkan, mereka yang setia memanggil namamu saat kau butuh semangat, mereka yang setia di sampingmu saat kau butuh petuah. Mereka adalah jiwa seorang pahlawan, yang mau berkorban bagi dirimu. Mereka tak hanya pahlawan bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi dirimu. Meluangkan waktu hanya untuk mendengarkan ceritamu atau melihat keberhasilanmu, bukankah itu suatu hadiah yang berarti dan penuh pengorbanan? Mulai sekarang, jadikan lurus ke atas dan lurus ke depan sebagai semangat hidup kalian yang setia kalian kobarkan saat kalian merasa jatuh ke jurang yang paling dalam.
Yakinlah, bahwa kalian adalah pahlawan bagi diri kalian sendiri. Dan hal itu takkan lebih berarti kecuali kalian melengkapinya dengan berusaha menjadi pahlawan bagi orang lain. Sebab, inti dari menjadi seorang pahlawan adalah rela berkorban dan selalu berjuang untuk kepentingan orang lain. Berbahagialah bagi mereka yang dapat melengkapi kebahagiaan menjadi seorang pahlawan bagi diri sendiri dengan menjadi pahlawan bagi orang lain. And you finally see the truth, that a hero lies in you….

Pemalang, 5 April 2011

Rabu, 26 Januari 2011

Alquran: Cahaya Yang Tak Pernah Pudar

Sebagai umat Islam, tentu saja kita tak asing lagi dengan Alquran. Sebelum wafat, Nabi Muhammad SAW telah berpesan kepada umat Islam agar selalu berpegang teguh pada Alquran dan Al-Hadits. Keduanya, dalam kajian sumber hukum Islam, disebut sebagai sumber yang pertama dan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan termasuk menetapkan hukum terhadap hal-hal tertentu. Sebagai pedoman hidup dan sumber hukum Islam, sudah seharusnyalah kita senantiasa berpegang pada Alquran (juga Alhadits) dalam menjalani hidup fil 'ardl ini.

Kitab Allah yang terakhir kali turun ialah Alquran. Itulah mengapa, Alquran adalah kitab yang paling sempurna dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya. Tak hanya dari segi isi, sejarah dan perkembangannya pun menarik untuk ditelusuri.

Dari segi kebahasaan, Alquran juga sangat menarik. Ditulis dalam bahasa Arab, Alquran merupakan kitab berbahasa Arab dengan tingkatan bahasa yang tinggi, sehingga cukup berbeda dengan bahasa Arab yang biasa digunakan oleh bangsa Arab pada umumnya. Ketika kita mempelajari ilmu tajwid Alquran, banyak dijumpai kaidah-kaidah penulisan dan cara membaca Alquran. Hal ini bukan berarti Alquran itu rumit, melainkan menegaskan bahwa Alquran itu istimewa.

Berbeda pula dengan kitab-kitab terdahulu yang telah mengalami banyak perubahan- dan penyimpangan-Alquran tidak.Sepanjang masa Alquran akan terus dijaga kemurniannya oleh Allah Swt. melalui para hafidz dan ulama.

Jumat, 21 Januari 2011

Tak Tergantikan

Nama itu selalu menggaung di telingaku. Dan ketika seseorang memanggil namanya, aku tersadar. Bahwa kini dia telah tiada. Bahwa kini dia telah pergi. Bahkan sebelum aku melihatnya di atas panggung, langsung maupun tak langsung, saat ia masih ada.

Bukan aku tak peduli, bukan aku tak mau tahu. Tapi ketika itu memang aku belum ada di sini.

Yang datang menggantikan yang pergi. Yang pergi digantikan oleh yang datang. Namun sayang, aku yang datang tak bisa menggantikan ia yang pergi. Dia yang pergi tak bisa tuk ku gantikan.

Bukan aku tak mau, bukan aku keberatan. Justru aku ingin menjadi sepertinya.

Namun sayang, betapa pun dia tak mungkin dapat tergantikan, bahkan oleh orang yang sangat mirip dengannya- apalagi aku.

Pemalang, 15 November 2010.