Ku pandangi dua lembar kertas di hadapanku. Lembar soal dan lembar jawab.
Hufft, aku jenuh dengan suasana di sini. Keheningan berbaur dengan sakit kepala
yang (anehnya) diderita oleh semua peserta di ruangan ini yang semakin
memperburuk “kejiwaan” kami. Dan yang lebih aneh lagi, sakit kepala itu selalu
datang saat tiba waktu ulangan. 90 Menit, waktu
itu selalu terasa begitu lama saat kami lalui itu ketika proses KBM biasa
berlangsung. Tapi ketika duduk di atas kursi ini, sembilan puluh menit itu
terasa begitu cepat. Dan aku baru menyadari akan satu keanehan lagi yang ada
padaku: lembar jawabku masih kosong, belum ada satu pun soal yang kuselesaikan.
Dan parahnya lagi,
waktu tersisa KURANG DARI 10 MENIT LAGI. My God!
Maka segera saja aku menaikkan
penaku, lalu mulai memainkannya di atas lembar jawabku. Aku meletakkan lembar
jawabku itu persis di atas lembar soal, dan itu artinya aku memilih jawaban
dengan membulatinya tanpa meneliti dulu soalnya dan memikirkan apakah jawabanku
itu sudah tepat atau belum. Bagaimana pun, waktuku kurang dari sepuluh menit
lagi dan aku harus sudah menyelesaikannya sebelum bel peringatan waktu kurang
dari lima menit lagi.
Kuperiksa jam dinding yang
menggantung di depan kelas, dan aku menghitung bahwa aku cuma butuh waktu
kurang dari tiga menit untuk “memilih semua jawaban yang kuanggap benar”. Ya,
aku rasa sudah benar apa yang baru saja kulakukan, sebab apa yang kulakukan itu
sudah sama dengan perintah soal yang jelas-jela tertulis di lembar soal: “Pilihlah jawaban yang
menurut Anda paling tepat!” dan bukan “jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan benar!”. Mungkin malaikat di kanan-kiriku juga sedang
menertawakanku.
Ya Tuhan, aku bosan. Bosan
tingkat tinggi. Kenapa aku harus menyelesaikan ini semua terlebih dahulu
sebelum aku dapat lulus dan “merdeka”?
Mengapa harus ada kertas ulangan, dan… ehm… aku
jadi penasaran, siapa sebenarnya yang mempunyai “ide gila” ini?
Hmm.… Akhirnya aku kembali
mengubah perkataanku, ternyata sembilan puluh menit itu lama sekali! Lalu, apa yang selama ini aku lakukan?
Tidur dan bermimpi? Ah,
entahlah.
Pada akhirnya sembilan puluh menit itu hilang
dan tak meninggalkan kesan apapun. Yang tertinggal hanyalah rasa kantuk tingkat
tinggi dan harap-harap cemas akan hasil ulanganku nanti.