Jumat, 14 Oktober 2011

Di Persimpangan Jalan


Kali ini aku berdiri di persimpangan jalan. Entahlah, aku tak tahu lagi harus melangkahkan kaki ini kemana lagi. Aku risau. Sepanjang hidup seringkali aku menemukan jalan yang berkelok seperti ini. Seringkali pula aku bisa memilih jalan itu dengan baik hingga perjalananku serasa makin ringan saja. Akan tetapi kali ini, entahlah, aku benar-benar risau. Hatiku bilang “ke kanan”, tetapi pikiranku bilang “kenapa tak coba ke kiri?”. Sementara itu orang-orang mulai ramai memperbicangkan aku, sambil berteriak padaku tentang kemana aku harus meneruskan langkah ini. Kata mereka “kenapa kau tak ikuti saja arah pikiranmu, ke kiri? Kau terlalu mencintai hatimu hingga kau selalu mendengarkannya. Kali ini, cobalah dengarkan pikiranmu. Mungkin kali ini, dia benar”. Tak cukup sampai di situ saja, mereka bahkan menyuruhku untuk memilih jalan sesuai kehendak mereka. Beberapa dari mereka berkata “kanan”, tapi tak sedikit juga yang berteriak “kiri”. Aku semakin risau. Hari semakin siang, matahari menyengat dengan teriknya. Bagaimanapun aku tak boleh terlalu lambat berjalan hanya karena persimpangan jalan ini. Lalu aku bertanya pada telingaku. Namun aku tersadar bahwa aku memiliki dua daun telinga, dan berada di sisi yang berseberangan. Yang kanan berkata “Ke kanan, kita harus ke kanan. Sepertinya ada hal baru yang akan kau temukan”. Sementara itu telinga kiriku berkata, “Tidak ke kiri saja. Sepertinya kau akan beruntung di sana”. Ah, sia-sia. Mereka hanya berpihak pada apa yang mereka dengar, meskipun hanya ada satu sisi yang mereka dengarkan. Aku menundukkan kepala. Kutanya pada kedua kakiku, tapi mereka tak memberikan jawaban pasti dan hanya berkata bahwa mereka akan patuh sepenuhnya pada perintahku, tuannya. Kutanya pada mataku, lalu mereka segera memandang ke arah dua sisi jalan ini. Di kiri, dunia begitu ramai, tapi di kanan dunia begitu nyaman. Namun setelah memandangi kedua arah jalan ini, mereka malah memejamkan diri mereka. Tak ada jawaban pasti. Akan tetapi ketika mataku terpejam itu, aku lantas teringat pada ucapan seseorang yang kukenal, seseorang yang amat kusayangi. Dia pernah berkata, “jauh di dalam hatimu ada terang cahaya yang dikirim Tuhan pada setiap diri kita. Ikuti apa katanya, maka kau kan temukan dirimu apa adanya. Ingat, hati itu tak pernah berdusta”.
***
Pemalang, 9 September 2011

Dua Tahun Lagi!



S
ayang sekali aku harus melewati malam ini di sini juga. Dan perjalanan hari ini akan berakhir di tempat yang sama pula. Dan esok aku harus sudah kembali ke dunia asalku, tempat dimana aku benar-benar telah lelah dan suntuk menghadapi semua ini, dan — sekali lagi — sayang sekali aku harus tinggal di sana untuk waktu yang relatif lama bagiku: dua tahun.

Memang bukan masalah jika Anda melewati waktu itu bersama teman-teman Anda, dalam suasana kegembiraan dan tanpa beban. Namun hal itu tak terjadi padaku. Dua tahun itu harus kujalani dengan setumpuk rasa sesal, secangkir kemarahan yang — sayang sekali harus kuminum setiap hari. Maka dengan semua itu, aku yakin, siapa pun Anda akan merasa berjalan selama dua puluh tahun meskipun orang-orang bilang itu hanya dua tahun.

Ya, itu pulalah alasanku untuk tetap tinggal. Seringkali aku sendirian, termenung, lalu berujar pada diriku sendiri; dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Begitu seterusnya sampai aku bosan mendengarkan ucapanku sendiri.

Karena menurutku, saat Anda mengulang perkataan Anda sebanyak mungkin, maka yang Anda katakan itu bisa menjadi doa yang mujarab untuk diri Anda sendiri. Dan aku berujar (memohon) pada Tuhanku, “Ya Tuhanku, jadikanlah waktu selama itu menjadi cepat bagiku, dan jika ia masih tetap lama, maka tetapkanlah aku dan hatiku di atas jalan dan rencana-Mu”.

Dan di saat malam mulai mengenakan kerudung hitamnya, dan dingin mulai menyapa di tengah kesepian lewat lembutnya angin malam, aku bermimpi. Mimpiku tetap saja sama. Suatu hari nanti aku dapat terbang, lalu hinggap dari pohon yang satu ke pohon lainnya, sampai aku menemukan pohon besar yang nyaman untukku, lalu akan kubuat sarang di antara dahan-dahannya. Di sanalah aku akan tinggal, menyanyi sepanjang hari, di pagi hari, siang, malam, sampai larut malam menutup mataku. Saat aku terbang, aku ringan di atas awan. Terbang membubung tinggi, lepas kendali, lalu melayang lagi, seolah aku dapat berenang di udara. Bebas!

Sayang sekali kenyataan harus lebih pahit ketimbang mimpi di awang-awang. Hingga aku berada di dalam situasi dimana mau tak mau aku harus meragukan kekuatan mimpi yang pernah diceritakan oleh orang-orang besar. Aku harus menerima hidupku apa adanya, karena begitulah cara manusia bersyukur pada Tuhannya — begitu kata orang-orang — padahal menurutku hal itu lebih mirip pasrah dan pesimistis ketimbang bersyukur kepada Tuhan. Sebab, yang aku tahu, ada dua hal yang kita terima dari Tuhan, yang pertama kenikmatan, yang lainnya musibah. Jika yang terima itu kenikmatan, baiklah untuk kita mensyukurinya dan menerima apa adanya. Namun jika kita justru menerima yang kedua, sulit rasanya jika kita hanya menerima apa adanya tanpa sedikit pun berusaha untuk mengubahnya. Sebab itulah cara Tuhan mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk selalu mengingatnya. Dengan cara itulah Tuhan mengerti seberapa besar iman kita pada-Nya, dan dengan itu pulalah Tuhan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan derajat umat-Nya atau merendahkan-(derajat)-nya.

Aku ingin setia pada Tuhan, ingin mencintai-Nya, ingin mengagungkan-Nya. Sebab aku melihat (kebesaran)-Nya. Aku telah mendengar bukti akan kebenaran-Nya, dan aku amat rindu kepada-Nya.

Aku ingin mencintai kehidupan dan seisinya. Sebab dengan cara itulah aku mencntai-Nya, dengan cara itulah aku membuka ruang hatiku lalu membiarkan kesedihan-kesedihan itu berlalu sebab aku telah memenuhi rinduku dengan bertemu dengan-Nya.

Tapi ini sulit, sulit untukku mencintai kehidupan jika aku tetap tinggal di sini. Sulit untukku menemukan kelapangan hatiku, bahagianya diriku, dan terpenuhinya mimpi-mimpiku; di sini. Aku sadar sepenuhnya bahwa ini bukanlah apa yang aku mau, bahwa ini bukanlah pilihanku. Aku tak bahagia di dalamnya. Aku terdesak, kesakitan, menangis, sendirian. Aku terjatuh, terjerembab, dan terikat. Aku tak merasakan apa yang orang-orang sebut dengan kenyamanan, sedangkan aku belum tahu apa arti kata itu sebab aku belum pernah merasakannya.

Sayang sekali, lagi-lagi bibirku yang mulai kaku ini harus berujar, dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Setelah dua tahun itu berlalu, ya, suatu hari nanti, Tuhan akan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan (derajat)ku atau merendahkannya; dan mimpiku kelak ‘kan terwujud, aku akan bernyanyi siang-malam, terbang ringan di atas awan, membubung tinggi, jatuh, lalu terbang lagi, seolah-olah aku dapat berenang di udara. Dua tahun lagi, ya, dan itu cepat!

Pml, 31 Oktober 2010