Minggu, 16 November 2014

Rindu Rinai



Dan, ya, aku masih di sini
Meski yang selalu kau katakan—berulang-ulang—hanya
satu kata itu
:“hei”.

Laba-laba Belang (4)



Bukankah hidup itu seperti embun—tak
lelah datang meski hari (selalu) membuatnya tiada?

Laba-laba Belang (3)



Bukankah hidup itu seperti awan—harus
Mengalah menjadi hujan hanya agar ada yang tetap hidup?

Laba-laba Belang (2)



Bukankah hidup itu seperti nyamuk—harus
Siap pada kematian kapan saja, di tangan siapa saja?

Laba-laba Belang (1)



Bukankah hidup itu seperti secangkir kopi—tak
nikmat kecuali hadir pahit di dalamnya?

Selasa, 01 Juli 2014

Besi dan Kayu

Saat tengah sendirian di dalam perpustakaan, saya teringat pada sebuah cerita yang pernah saya dengar ketika saya masih kecil. Cerita itu berkisah tentang dua orang di tengah musim salju yang sangat dingin. Mereka berjalan diantara hujan salju hingga akhirnya mereka melihat dua buah kursi kosong, satu terbuat dari besi sementara yang lain terbuat dari kayu. Segera saja salah satu diantara keduanya berlari lalu duduk di atas kursi besi yang bagus itu. Sementara itu, orang yang satu berjalan santai lalu duduk di atas kursi kayu. Sampai detik ini kita bisa melihat bahwa orang yang duduk di kursi besi lebih unggul dibanding orang yang duduk di kursi kayu. Sekian menit pun berlalu, orang yang duduk di kursi besi merasakan kedinginan hingga tubuhnya pun bergetar hebat. Berbeda dari temannya, orang yang duduk di atas kursi kayu justru tenang meskipun ia juga merasakan kedinginan.

Sabtu, 17 Mei 2014

Rimba, Yang Pertama



Aku menamainya Rimba. Dia menyebutku jingga. Tak tahu apa artinya. Hanya saja, dia pernah bilang, kalau senja itu indah. Bukankah senja itu jingga? Jadi?
Aku tak tahu harus mengartikannya ke dalam bahasa apa, ke dalam ungkapan apa. Sebab, jingga itu tanda. Tanda bahwa matahari segera pergi. Tanda bahwa cahaya akan segera berganti, dan malam akan segera lahir. Aku tahu dia tak suka malam.
Aku menamainya Rimba. Sebab, dia suka bermain-main di pantai entah mengerjakan apa. Sebab, dia sering berburu dan baru pulang saat hari sudah gelap. Dia bisa dan pada dasarnya suka akan kesendirian. Tenang, katanya. Maka bersamanya aku berubah menjadi orang yang banyak mulut. Bukan lantaran aku yang begitu ramai, tapi karena dia yang demikian sepi.

Kamis, 01 Mei 2014

Gara-Gara Writer’s Block



Well, first of all saya mau minta maaf pada (terutama) diri sendiri yang belum mengetik apapun tahun ini. Postingan saya pada bulan Februari lalu pun sebetulnya tulisan entah zaman kapan, yang “nyempil” diantara sekian draft di laptop (kebanyakan belum jadi). Tak menulis sampai akhir April, membuat saya tiba-tiba speechless. Kehilangan kata-kata. Tumpul, tak bisa “bicara”. Dan puncaknya adalah saat mendapat tugas menulis di mata kuliah Bahasa Indonesia.
Dan....