Aku menamainya Rimba. Dia menyebutku jingga. Tak tahu apa
artinya. Hanya saja, dia pernah bilang, kalau senja itu indah. Bukankah senja
itu jingga? Jadi?
Aku tak tahu harus mengartikannya ke dalam bahasa apa, ke
dalam ungkapan apa. Sebab, jingga itu tanda. Tanda bahwa matahari segera pergi.
Tanda bahwa cahaya akan segera berganti, dan malam akan segera lahir. Aku tahu
dia tak suka malam.
Aku menamainya Rimba. Sebab, dia suka bermain-main di pantai
entah mengerjakan apa. Sebab, dia sering berburu dan baru pulang saat hari
sudah gelap. Dia bisa dan pada dasarnya suka akan kesendirian. Tenang, katanya.
Maka bersamanya aku berubah menjadi orang yang banyak mulut. Bukan lantaran aku
yang begitu ramai, tapi karena dia yang demikian sepi.