Selasa, 27 November 2012

Virus Stand Up Comedy

Virus stand up comedy akhir-akhir ini mulai menjangkiti dunia anak muda, tak terkecuali saya sendiri. Mulai dari televisi, surat kabar, sampai jejaring sosial semuanya ngomongin salah satu jenis komedi yang semakin lama semakin tumbuh dan berkembang (semacam anak sepertinya) di Indonesia ini. Sebenarnya keberadaan stand up comedy sudah lama happening di negara-negara sebelah barat sana, tapi baru masuk Indonesia (kalau yang ini semacam penjajah sepertinya) beberapa tahun belakangan ini. Stand up comedy menampilkan jenis komedi yang lain dari comedy slapstick yang marak di tivi-tivi. Salah satu perbedaannya adalah, stand up comedy dilakukan oleh satu orang komedian (selanjutnya disebut comic atau stand up comedian) sehingga terkadang disebut juga komedi tunggal.

Perbedaan lainnya adalah, esensi tawa yang kita dapat sebagai penonton atau pemirsa tontonan komedi tunggal. Seringkali—saat menonton komedi slapstick—kita disuguhi oleh jokes yang (maaf) terkadang bersifat mencela orang lain, terutama mereka yang sedikit berbeda dengan kita baik dalam hal penampilan, wajah yang “kurang”, tinggi dan berat badan yang kurang ataupun berlebihan, serta profesi dan bahkan juga orientasi seksualnya. Slapstick seakan memberikan ruang untuk “tertawa diatas penderitaan orang lain”. Maka sekarang yang kita lihat berkali-kali, berulang kali hingga menjadi tontonan pokok kita sehari-hari di televisi adalah “penyiksaan” antar sesama komedian lewat kata-kata yang cenderung kasar, segenggam tepung di tangan yang kemudian meluncur ke wajah komedian lainnya, serta lewat dorongan yang sengaja dilakukan lalu dilanjutkan oleh konfirmasi kru televisi yang menyatakan bahwa benda-benda yang digunakan tidak berbahaya—lalu kita semua tertawa. Komedian yang berulang kali menjadi “korban” candaan komedian lainnya justru meroket namanya dan kian tenar saja. Dan kalau sudah begitu, maka yang terjadi berikutnya seperti tak apalah terus-terusan dicaci, dimaki, dikatain, ditepungin, atau didorong ke tumpukan ... asal tenar, terkenal, dan kaya.
Stand up comedy berbeda. Lawakan cerdas yang diungkapkan oleh comic pada awalnya sedikit membingungkan, membuat kita berkata ngomong apa sih ni orang. Akan tetapi, saat menonton untuk yang kedua atau ketiga kalinya kita akan tahu oh, ngomongin ini tho—lalu tertawa. Komedi tunggal dengan cerdas dapat menyinggung masalah-masalah sensitif yang menjadi perhatian publik saat itu; mulai dari masalah sehari-hari, keluarga, hiburan, bahkan politik dan suku—semuanya ditampilkan dengan aman sehingga tak merusak arti komedi yang pure sebagai hiburan. Malah, komedi tunggal bisa membuka wawasan kita terhadap hal-hal baru yang comic bicarakan.
Saya pernah menonton salah satu acara Stand up comedy di salah satu stasiun televisi swasta—dan sama sekali tak tertawa. Lalu karena penasaran plus ajakan tak langsung dari twitter dan facebook yang semuanya ngomongin komedi tunggal ini maka saya paksakan untuk menontonnya sampai habis. Di akhir acara saya masih sedikit bingung melihat penonton yang tertawa sambil memegangi perutnya sementara saya bahkan hanya tersenyum kecil. Lalu saya kembali menonton acara tersebut di lain kesempatan, nah barulah saya temukan esensi dari ucapan dan jokes dari comics. Dan pada detik itu juga, tawa saya pun pecah begitu saja. Bahkan saya menemukan “kepuasan” lain (agak berlebihan memang) karena berhasil menemukan ide dan maksud dari comic, dari komedian yang ngomong sendiri di atas panggung tanpa tepung atau steroform.
Akan tetapi, Stand up comedy tekadang juga terjebak dalam blue topics dari para komedian. Dan sebagai penonton, terserah anda....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar