Aku tak
pernah menceritakan ini pada siapa pun, yaitu tentang apa yang dikatakan mawar
kepada hujan yang menjadikannya mekar. Kala langit senja mulai menenggelamkan
matahari yang (sayang sekali) begitu redup, dan hujan mulai turun dengan
beriringan lewat awan yang kelabu.
Nun di bawah
sana, di antara
bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sebuah taman yang indah, sekuntum
bunga memekarkan pandangannya ke atas, hendak mendengar suara langit yang
darinya muncul berita akan datangnya hujan. Ia lalu melempar pandangannya ke
bawah, lalu ke arah sekelilingnya. Adalah bunga mawar putih yang terkenal akan
kecantikan dan keelokan rupanya. Ketika hujan mulai turun dan membasahi
mahkotanya, ia berteriak.
“Aku benci
padamu, Hujan!”.
Hujan yang
kebingungan lantas berkata, “Mengapa kau berkata seperti itu, Mawar? Apa
salahku sehingga kau berkata demikian? Bukankah kau amat menyukaiku karena aku
memberikanmu air (kehidupan) ?”.
“Ya, aku
memang menyukaimu, aku memang membutuhkanmu. Tapi itu dulu, saat kau selalu
hadir saat musim hujan tiba. Sekarang ini musim hujan tlah berlalu, tapi
mengapa kau baru turun sekarang?”.
Hujan sempat
kebingungan menjawabnya. Sejenak ia berpikir, menenangkan dirinya, lalu
berkata,” Tak tahukah kau, Mawar? Aku selalu menantikan datangnya musim hujan
karena di saat itulah aku dapat leluasa turun ke bumi, ke tanah yang kucintai.
Aku sangat senang ketika musim hujan tiba. Saking senangnya, aku tak sadar
telah mengeluarkan air yang begitu banyak bagi manusia sampai-sampai mereka
mengalami musibah karenaku. Sejak itulah, mereka mulai membenciku. Aku tak lagi
mendatangkan manfaat dan kehidupan bagi mereka, tetapi justru membuat mereka
menderita karena malapetaka yang disebabkan olehku.”.
“Akibatnya,
mereka tak lagi bersahabat denganku. Mereka juga merusak alam. Pohon-pohon
ditebang, hutan dijadikan perumahan, gedung-gedung bertinhgkat mulai dibangun.
Lahan-lahan persawahan pun ikut hancur, sampai-sampai manusia membangun rumah
kaca untuk mengolah tanah. Aku benci dengan rumah kaca, aku tak tahan dengan
sinar matahari yang dipantulkannya. Aku tak suka dengan hawa panas, karena
keika udara semakin panas, semakin lama pula aku berada di langit, menjadi
awan. Itulah mengapa, sekarang aku selalu turun dengan tiba-tiba. Suhu udara
mulai tak menentu. Ketahuilah Mawar, kadang
aku ingin turun, tetapi aku tak kuat lagi karena udara di atas sini sangat
panas. Kumohon maafkanlah aku, Mawar. Terimalah aku menjadi sahabatmu kembali.
Aku yakin, sebentar lagi keadaan akan berubah. Aku yakin, sebentar lagi manusia
pasti akan sadar atas kekeliruannya selama ini”.
Mawar yang
sedari tadi menunduk lalu memalingkan mahkotanya yang cantik itu ke atas,
sambil berdiri tegap. Ia bertanya pada Hujan, “Apa maksudmu, Hujan? Mengapa kau
yakin sekali bahwa sebentar lagi manusia akan menyadarinya?”.
Hujan
tersenyum, lalu berkata,”Karena Tuhan Maha Melihat. Ia melihat semua yang
dilakukan oleh manusia, termasuk kekeliruan mereka. Dan sebentar lagi, Tuhan
akan menjawabnya. Manusia akan menerima balasan atas perbuatan mereka”.
Pemalang, 9
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar