Hari ini, Ibu, kau bercerita pada kami di dalam ruang kelas ini. Kata-katamu
begitu sederhana, tak terdengar seperti bahasa orang-orang jenius, tak terdengar
pula sebagai bahasa para penyair. Tapi lewat ceritamu itu, entah kenapa, hatiku
bergetar. Ini bukan ilusi, Bu, ini bukan mengada-ada. Sebab ceritamu pun bukan
ilusi, bukan mengada-ada. Ibu, kau bercerita dengan sesekali menatap kami,
anak-anakmu, satu per satu di dalam ruang kelas ini. Namun, entah apakah ini
cuma perasaanku atau memang demikian adanya—aku merasa kau begitu jauh
menatapku. Kau menatapku dengan tatapan yang dalam, jauh dan lama. Entah ini
cuma perasaanku atau memang demikian adanya, tapi aku betul-betul merasakannya.
Allah sungguh Maha Besar, sungguh Maha Kuasa. Dengan mudahnya Ia ciptakan manusia,
dan dengan mudahnya pula Ia perintahkan Izrail untuk mencabut nyawanya. Ia
berikan semua yang manusia butuhkan—jasmani, ruhani, akal pikiran, serta hati. Jangankan
untuk sesuatu yang hamba-Nya pinta, untuk yang tidak diminta pun Ia berikan. Mudah
bagi-Nya mengabulkan apa yang manusia itu inginkan, mudah pula bagi-Nya mencabut
nikmat tersebut dari hamba-Nya.
Bu, kau bercerita tentang keajaiban yang (semoga) ‘kan Allah berikan pada
kita suatu hari nanti. Begitu banyak cerita-cerita mengenai keajaiban yang
Allah berikan bagi hamba-Nya yang dengan setia tunduk dan taat pada-Nya, begitu
banyak sampai entah berapa banyak cerita yang belum disampaikan. Dan tepat
ketika kau berkata bahwa Allah itu pasti memberikan mu’jizat pada hamba-Nya
yang setia melaksanakan perintah-Nya, kau menatapku, kau menatapku. Dan aku pun
menatap kedua matamu, Ibu, dan entah apakah ini biasa saja atau istimewa, akan
tetapi kata-katamu begitu bergaung di dalam pikiranku. Aku seakan-akan
dibayang-bayangi oleh kalimatmu, Ibu. Entah kenapa kemudian hatiku bergetar dan
tiba-tiba punggungku serasa ditampar oleh sebuah benda yang cukup keras, yang
membuatku kesakitan tapi sekaligus mengantarkanku pada sebuah kesadaran bahwa
selama ini sudah terlalu banyak dosa dan kesalahan yang aku lakukan.
Ibu benar, Allah tak akan salah. Allah tak akan salah memberikan cobaan
pada hamba-Nya, dan Ia pun takkan salah dalam memilih hamba-Nya yang ‘kan Ia
berikan keajaiban. Dengan do’a-lah kita akan dipilih, serta dengan kesabaran
pula kita akan mendapatkannya.
Begitu banyak hal yang ingin aku raih di dunia (yang fana) ini, tapi begitu
banyak kesalahan yang aku perbuat. Begitu banyak keajaiban yang ingin aku
dapatkan dari Allah Swt. tetapi aku belum juga sempurna dalam menjalankan
tugasku sebagai hamba, hamba yang bertanggung jawab pada Tuhannya. Dan aku
sadar, betapa rapuhnya aku tanpa pertolongan Allah.
Aku ingin mengubah semua bintang yang telah kulukiskan dalam mimpi
terindahku. Aku ingin mengubah semua bayangan tentang kebahagiaan menjadi
kebahagiaan yang hakiki, yang seutuhnya dapat kurasakan. Namun, masih
berdayakah aku dan semua impianku ketika aku begitu jauh dari-Nya?
Ibu, aku menginginkan keajaiban itu, aku mendambakan kebahagiaan itu;
kebahagiaan kala aku menjadi hamba yang lengkap dengan semua keajaiban yang
telah kudapatkan.....
Ibu, terima kasih telah menceritakan hal itu pada kami—padaku. Terima kasih
telah memberikanku tatapan mata yang dalam itu, yang telah menyelamatkanku dari
lupa yang selama ini membayangiku.
God, please give me Your miracle in everything I do, please
give me Your chance in everything I will. Because I need You, I need You the
most, I need You more than everything in my whole life, and I will never be if You won’t…. Give me that miracle, God…. Amen.
***
Pemalang,
12 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar