Jumat, 14 Oktober 2011

Dua Tahun Lagi!



S
ayang sekali aku harus melewati malam ini di sini juga. Dan perjalanan hari ini akan berakhir di tempat yang sama pula. Dan esok aku harus sudah kembali ke dunia asalku, tempat dimana aku benar-benar telah lelah dan suntuk menghadapi semua ini, dan — sekali lagi — sayang sekali aku harus tinggal di sana untuk waktu yang relatif lama bagiku: dua tahun.

Memang bukan masalah jika Anda melewati waktu itu bersama teman-teman Anda, dalam suasana kegembiraan dan tanpa beban. Namun hal itu tak terjadi padaku. Dua tahun itu harus kujalani dengan setumpuk rasa sesal, secangkir kemarahan yang — sayang sekali harus kuminum setiap hari. Maka dengan semua itu, aku yakin, siapa pun Anda akan merasa berjalan selama dua puluh tahun meskipun orang-orang bilang itu hanya dua tahun.

Ya, itu pulalah alasanku untuk tetap tinggal. Seringkali aku sendirian, termenung, lalu berujar pada diriku sendiri; dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Begitu seterusnya sampai aku bosan mendengarkan ucapanku sendiri.

Karena menurutku, saat Anda mengulang perkataan Anda sebanyak mungkin, maka yang Anda katakan itu bisa menjadi doa yang mujarab untuk diri Anda sendiri. Dan aku berujar (memohon) pada Tuhanku, “Ya Tuhanku, jadikanlah waktu selama itu menjadi cepat bagiku, dan jika ia masih tetap lama, maka tetapkanlah aku dan hatiku di atas jalan dan rencana-Mu”.

Dan di saat malam mulai mengenakan kerudung hitamnya, dan dingin mulai menyapa di tengah kesepian lewat lembutnya angin malam, aku bermimpi. Mimpiku tetap saja sama. Suatu hari nanti aku dapat terbang, lalu hinggap dari pohon yang satu ke pohon lainnya, sampai aku menemukan pohon besar yang nyaman untukku, lalu akan kubuat sarang di antara dahan-dahannya. Di sanalah aku akan tinggal, menyanyi sepanjang hari, di pagi hari, siang, malam, sampai larut malam menutup mataku. Saat aku terbang, aku ringan di atas awan. Terbang membubung tinggi, lepas kendali, lalu melayang lagi, seolah aku dapat berenang di udara. Bebas!

Sayang sekali kenyataan harus lebih pahit ketimbang mimpi di awang-awang. Hingga aku berada di dalam situasi dimana mau tak mau aku harus meragukan kekuatan mimpi yang pernah diceritakan oleh orang-orang besar. Aku harus menerima hidupku apa adanya, karena begitulah cara manusia bersyukur pada Tuhannya — begitu kata orang-orang — padahal menurutku hal itu lebih mirip pasrah dan pesimistis ketimbang bersyukur kepada Tuhan. Sebab, yang aku tahu, ada dua hal yang kita terima dari Tuhan, yang pertama kenikmatan, yang lainnya musibah. Jika yang terima itu kenikmatan, baiklah untuk kita mensyukurinya dan menerima apa adanya. Namun jika kita justru menerima yang kedua, sulit rasanya jika kita hanya menerima apa adanya tanpa sedikit pun berusaha untuk mengubahnya. Sebab itulah cara Tuhan mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk selalu mengingatnya. Dengan cara itulah Tuhan mengerti seberapa besar iman kita pada-Nya, dan dengan itu pulalah Tuhan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan derajat umat-Nya atau merendahkan-(derajat)-nya.

Aku ingin setia pada Tuhan, ingin mencintai-Nya, ingin mengagungkan-Nya. Sebab aku melihat (kebesaran)-Nya. Aku telah mendengar bukti akan kebenaran-Nya, dan aku amat rindu kepada-Nya.

Aku ingin mencintai kehidupan dan seisinya. Sebab dengan cara itulah aku mencntai-Nya, dengan cara itulah aku membuka ruang hatiku lalu membiarkan kesedihan-kesedihan itu berlalu sebab aku telah memenuhi rinduku dengan bertemu dengan-Nya.

Tapi ini sulit, sulit untukku mencintai kehidupan jika aku tetap tinggal di sini. Sulit untukku menemukan kelapangan hatiku, bahagianya diriku, dan terpenuhinya mimpi-mimpiku; di sini. Aku sadar sepenuhnya bahwa ini bukanlah apa yang aku mau, bahwa ini bukanlah pilihanku. Aku tak bahagia di dalamnya. Aku terdesak, kesakitan, menangis, sendirian. Aku terjatuh, terjerembab, dan terikat. Aku tak merasakan apa yang orang-orang sebut dengan kenyamanan, sedangkan aku belum tahu apa arti kata itu sebab aku belum pernah merasakannya.

Sayang sekali, lagi-lagi bibirku yang mulai kaku ini harus berujar, dua tahun itu cepat, dua tahun itu cepat. Setelah dua tahun itu berlalu, ya, suatu hari nanti, Tuhan akan menimbang dan memperhitungkan, meninggikan (derajat)ku atau merendahkannya; dan mimpiku kelak ‘kan terwujud, aku akan bernyanyi siang-malam, terbang ringan di atas awan, membubung tinggi, jatuh, lalu terbang lagi, seolah-olah aku dapat berenang di udara. Dua tahun lagi, ya, dan itu cepat!

Pml, 31 Oktober 2010

2 komentar:

  1. Dik, sudah terlewatikah dua tahun itu? Untuk saat ini, sudah bahagiakah kamu? Semoga kau selalu diberi kelapangan dan kebahagiaan... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kemudahan selalu berdampingan dengan kesulitan, sebagaimana kebahagiaan yang berdampingan dengan kesedihan. Dua tahun memang sudah lewat, tapi aku tetaplah aku.
      Terima kasih do'anya. Doa yang sama untuk Mbak juga :)

      Hapus