Sabtu, 17 Mei 2014

Rimba, Yang Pertama



Aku menamainya Rimba. Dia menyebutku jingga. Tak tahu apa artinya. Hanya saja, dia pernah bilang, kalau senja itu indah. Bukankah senja itu jingga? Jadi?
Aku tak tahu harus mengartikannya ke dalam bahasa apa, ke dalam ungkapan apa. Sebab, jingga itu tanda. Tanda bahwa matahari segera pergi. Tanda bahwa cahaya akan segera berganti, dan malam akan segera lahir. Aku tahu dia tak suka malam.
Aku menamainya Rimba. Sebab, dia suka bermain-main di pantai entah mengerjakan apa. Sebab, dia sering berburu dan baru pulang saat hari sudah gelap. Dia bisa dan pada dasarnya suka akan kesendirian. Tenang, katanya. Maka bersamanya aku berubah menjadi orang yang banyak mulut. Bukan lantaran aku yang begitu ramai, tapi karena dia yang demikian sepi.

Rimba itu bukan temanku. Mana ada teman yang datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit, lalu kembali tanpa memberitahu? Dia seperti bayangan, hanya hadir saat ada cahaya, lalu menghilang saat ia sirna. Hanya saja Rimba tak mengikutiku. Justru hidupnya sangat bebas, tak terikat pada hukum apapun. Ia bisa berjalan ke manapun, tidur di manapun, bahkan bisa memutuskan untuk tak tidur sama sekali.
Pertemuanku dengan Rimba laksana takdir ombak yang menyisir pantai. Ia tak punya pilihan, hanya tak tahu apa-apa selain patuh pada alam. Ombak tak bisa menentukan ke mana ia akan berlari, ia tak bisa berhenti menghamburkan diri ke bibir sang pantai. Dan aku, seperti ombak, tak tahu kenapa bisa bertemu, tak tahu kenapa tak bisa menjauh.
Mungkin satu-satunya makhluk yang sering bercakap-cakap dengannya adalah aku. Tak ada benda lain di muka bumi ini yang tertarik mengajaknya berbicara. Bahkan untuk bertegur sapa pun tidak. Lantaran mulutnya yang tak pernah bersuara itu, mungkin.
Aku hanya mengira. Aku hanya berteka-teki tentang diri Rimba sebenarnya. Pasalnya, aku selalu gagal menemukan jawaban memuaskan atas tanya yang kuajukan padanya. Lalu bagaimana aku bisa yakin, bagaimana aku bisa percaya?
Rimba seperti angin. Bergerak sesuka hati. Hanya saja, ia bisa kulihat. Sekaligus kugapai.
Raganya.
Ya, hanya raganya. Sebab, siapa yang bisa memegang nyawa selain Dia yang menghidupkan kita?
Di bibir pantai, 17 Mei 2014
Aku
Menunggu Rimba pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar