Senin, 14 November 2016

Warna Langit

Langitku biru. Langitku cerah. Manusia mengaguminya.
Langit biru yang cerah, ah, manusia mana yang tak menyukainya. Tukang es keliling, tukang bakso, pedagang kaki lima, anak sekolahan, pengantar surat, loper koran, penyapu jalan, tukang parkir… semua menyayangiku. Pengusaha kerupuk, petani garam, dan ibu-ibu yang punya anak bayi juga tak luput menjadi pengagumku. Hidup nyaman sekali dari atas sini. Terlebih jika matahari tak terlalu niat menyalakan sinarnya ke muka bumi. Hari sempurna ialah saat matahari bersantai di langitku, burung-burung terbang di antara awanku, pohon dan bunga tumbuh subur di bawahku, orang-orang tertawa dan dapat uang banyak.
Di sebelah langitku, ada langitmu.

Birunya sama dengan biruku, bahkan gumpalan awannya pun serupa. Kita duduk bersebelahan, di kursi yang sama. Aku duduk membaca buku kumpulan puisi, sementara kau kesini untuk mencari inspirasi. Bolpoin dan buku catatan tak lupa kau bawa. Selalu, tak pernah ketinggalan. Lantas kubertanya kenapa tak menulis di telepon pintar atau komputer jinjing saja yang lebih praktis. Justru bolpoin dan buku catatanlah yang lebih praktis, katamu. Aku manggut-manggut. Kubalik halaman buku, sebatang puisi yang lain kutemukan. Kau masih sibuk mencorat-coret halaman buku yang kau pegang itu. Aku tersenyum. Rupanya telah berhasil kau tangkap satu inspirasi di antara guguran inspirasi di taman ini. Hebat. Pasti kau seorang penyair kelas tinggi.
Ternyata bukan, kau bukan penyair kelas tinggi. Nulis puisi cuma iseng, katamu. Kerja paruh waktu, istilahmu. Ah apalah itu. Aku tak percaya. Lalu kau pun mulai bercerita. Cerita tentang tim sepakbola yang seluruh anggotanya adalah teman sekantor. Kau salah satu anggotanya. Aktif, jelas. Posisimu midfielder, aku tahu apa artinya. Gini-gini aku suka bola, terangku. Midfielder adalah pemain tengah, bertugas mencuri bola dan menyalurkannya pada pemain depan. Posisinya penting sebagai pengatur strategi. Pemain tengah juga fleksibel, main serang oke bertahan pun jago. Karena fleksibel, pemain tengah juga biasanya paling gampang lelah. Jelas karena pemain tengah yang paling sering berlari mencari bola, memotong serangan lalu mengumpan bola ke pemain depan untuk diteruskan sebagai serangan balik. Tak cuma pandai mengumpan, midfielder juga bisa jadi pahlawan, karena posisi yang memungkinkannya menjadi pemberi assist atau bahkan pencetak gol. Kau tepuk tangan menyimaknya. Aku bangga pada diri sendiri.
Main bola kau anggap hiburan, dua-tiga tingkat di bawah nulis puisi yang cuma kerja part time. Full time-nya? Di kantor creative design yang kau dirikan bersama teman-teman sejurusan. Usaha itu berdiri sejak para pendirinya (termasuk kau) kuliah semester enam. Sudah enam tahun berarti. Pantas saja nulis puisi dan main bola cuma cadangan.
Aku tak mau kalah. Aku juga penulis. Aku menulis cerita untuk beberapa media cetak. Belum lagi membuat artikel inspiratif soal wanita, fesyen, dan gaya hidup di majalah online, serta menjadi tenaga lepas di company kelas menengah sebagai copy-writer. Kalau menemukanku sedang baca buku di taman begini, berarti aku sudah menyelesaikan naskah artikelku, mengirim cerpen ke media favorit, serta tak ada panggilan proyek bikin iklan.
Apa warna langitmu hari ini?
Biru, jawabmu. Ya, sudah kukira. Gumpalan awan bertebaran, mengelilingimu sekarang. Aku bisa melihat pancaran sinar matahari yang tak terlampau panas, persis istilahku: matahari sedang santai. Baguslah. Biru memang warna langit yang indah. Biru, seperti punyamu. Sama sepertiku.
Manusia memang mengagumi langit biru, tapi kau tentu sudah tahu ada sekian di antara mereka yang lebih menyukai warna lain. Mereka menamai diri sebagai pemburu senja. Langit senja, kau tahu, indah rupawan. Senja adalah ketika manusia tak lagi mengeluhkan panasnya matahari. Justru mereka mengagumi matahari. Itulah saat mereka bersyukur karena matahari. Matahari jingga kemerahan. Warnanya menyebar ke seluruhku, terserak di langitku.
Biru memang indah, senja juga. Tapi ada satu lagi warna yang manusia suka. Warna-warni yang berjajar rapi membentuk pulasan setengah lingkaran. Bagaikan jembatan di atas awan. Manusia menyukai torehan merah jingga kuning dan seterusnya yang mereka sebut pelangi. Setiap hujan turun mereka berteriak, berdoa minta hujan lekas reda dan pelangi segera datang. Sayang, datangnya hujan tak selalu berarti hadirnya pelangi.
Kali ini aku setuju dengan manusia. Pelangi memang cantik, sangat cantik. Aku ingin pelangi tinggal di langitku. Jingga senja mungkin indah, tapi ia meluruhkan biruku. Hitam malam dan taburan bintang memang anggun dan menyejukkan, tapi ia mengusir paksa biruku tanpa ampun. Aku suka pelangi. Warna-warninya bisa kunikmati, dan biruku tak ternodai.
Biruku cantik dan pelangi juga cantik. Keduanya, jika disatukan, ah, alangkah sempurnanya.
Ya, aku sedang mencari pelangi. Itulah sebabnya aku kesini. Dua jam sudah aku memeriksa setiap jari pohon dan sangkar burung di selanya; tak ada. Kuperiksa satu per satu lembar daun yang jatuh; tak ada. Belum lagi kususuri perdu yang mengitari taman ini; tetap tak ada.
Ada, mungkin. Hanya belum datang. Atau belum kutemukan. Aku yakin itu.
Kau tersenyum di ujung kursi sana, sementara aku duduk di ujung yang lain. Kau adalah manusia pertama yang kutemui hari ini, dengan bolpoin dan buku catatan. Mungkin sudah puluhan puisi tercipta dari kedua temanmu itu. Puluhan puisi, kuyakin, juga sudah kubaca. Dan kita sama-sama suka bola. Itu penting. Empat lelaki yang kutemui sebelumnya mengaku tak tahu dan tak tertarik pada bola. Mereka juga tak menulis puisi—ehm.
Langitku biru. Sama denganmu. Meski jingga indah dan pelangi rupawan, biru juga cantik kan?
Pelangimu, bagaimana?
Masih kucari jawaban atas pertanyaan itu.

Pemalang, 4 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar