Langitku biru. Langitku cerah. Manusia mengaguminya.
Langit biru yang cerah, ah, manusia mana yang tak
menyukainya. Tukang es keliling, tukang bakso, pedagang kaki lima, anak
sekolahan, pengantar surat, loper koran, penyapu jalan, tukang parkir… semua
menyayangiku. Pengusaha kerupuk, petani garam, dan ibu-ibu yang punya anak bayi
juga tak luput menjadi pengagumku. Hidup nyaman sekali dari atas sini. Terlebih
jika matahari tak terlalu niat menyalakan
sinarnya ke muka bumi. Hari sempurna ialah saat matahari bersantai di langitku,
burung-burung terbang di antara awanku, pohon dan bunga tumbuh subur di
bawahku, orang-orang tertawa dan dapat uang banyak.
Di sebelah langitku, ada langitmu.
Birunya sama dengan biruku, bahkan gumpalan awannya
pun serupa. Kita duduk bersebelahan, di kursi yang sama. Aku duduk membaca buku
kumpulan puisi, sementara kau kesini untuk mencari inspirasi. Bolpoin dan buku
catatan tak lupa kau bawa. Selalu, tak pernah ketinggalan. Lantas kubertanya
kenapa tak menulis di telepon pintar atau komputer jinjing saja yang lebih
praktis. Justru bolpoin dan buku
catatanlah yang lebih praktis, katamu. Aku manggut-manggut. Kubalik halaman
buku, sebatang puisi yang lain kutemukan. Kau masih sibuk mencorat-coret
halaman buku yang kau pegang itu. Aku tersenyum. Rupanya telah berhasil kau
tangkap satu inspirasi di antara guguran inspirasi di taman ini. Hebat. Pasti
kau seorang penyair kelas tinggi.
Ternyata bukan, kau bukan penyair kelas tinggi. Nulis puisi cuma iseng, katamu. Kerja
paruh waktu, istilahmu. Ah apalah itu. Aku tak percaya. Lalu kau pun mulai
bercerita. Cerita tentang tim sepakbola yang seluruh anggotanya adalah teman
sekantor. Kau salah satu anggotanya. Aktif, jelas. Posisimu midfielder, aku tahu apa artinya. Gini-gini aku suka bola, terangku. Midfielder adalah pemain tengah,
bertugas mencuri bola dan menyalurkannya pada pemain depan. Posisinya penting
sebagai pengatur strategi. Pemain tengah juga fleksibel, main serang oke
bertahan pun jago. Karena fleksibel, pemain tengah juga biasanya paling gampang
lelah. Jelas karena pemain tengah yang paling sering berlari mencari bola,
memotong serangan lalu mengumpan bola ke pemain depan untuk diteruskan sebagai
serangan balik. Tak cuma pandai mengumpan, midfielder
juga bisa jadi pahlawan, karena posisi yang memungkinkannya menjadi pemberi
assist atau bahkan pencetak gol. Kau
tepuk tangan menyimaknya. Aku bangga pada diri sendiri.
Main bola kau anggap hiburan, dua-tiga tingkat di
bawah nulis puisi yang cuma kerja part
time. Full time-nya? Di kantor creative design yang kau dirikan bersama
teman-teman sejurusan. Usaha itu berdiri sejak para pendirinya (termasuk kau)
kuliah semester enam. Sudah enam tahun berarti. Pantas saja nulis puisi dan
main bola cuma cadangan.
Aku tak mau kalah. Aku juga penulis. Aku menulis cerita
untuk beberapa media cetak. Belum lagi membuat artikel inspiratif soal wanita,
fesyen, dan gaya hidup di majalah online,
serta menjadi tenaga lepas di company
kelas menengah sebagai copy-writer. Kalau
menemukanku sedang baca buku di taman begini, berarti aku sudah menyelesaikan
naskah artikelku, mengirim cerpen ke media favorit, serta tak ada panggilan
proyek bikin iklan.
Apa warna
langitmu hari ini?
Biru, jawabmu. Ya, sudah kukira. Gumpalan awan
bertebaran, mengelilingimu sekarang. Aku bisa melihat pancaran sinar matahari
yang tak terlampau panas, persis istilahku: matahari sedang santai. Baguslah.
Biru memang warna langit yang indah. Biru, seperti punyamu. Sama sepertiku.
Manusia memang mengagumi langit biru, tapi kau tentu
sudah tahu ada sekian di antara mereka yang lebih menyukai warna lain. Mereka
menamai diri sebagai pemburu senja. Langit senja, kau tahu, indah rupawan.
Senja adalah ketika manusia tak lagi mengeluhkan panasnya matahari. Justru
mereka mengagumi matahari. Itulah saat mereka bersyukur karena matahari.
Matahari jingga kemerahan. Warnanya menyebar ke seluruhku, terserak di
langitku.
Biru memang indah, senja juga. Tapi ada satu lagi
warna yang manusia suka. Warna-warni yang berjajar rapi membentuk pulasan setengah
lingkaran. Bagaikan jembatan di atas awan. Manusia menyukai torehan merah
jingga kuning dan seterusnya yang mereka sebut pelangi. Setiap hujan turun mereka berteriak, berdoa minta hujan
lekas reda dan pelangi segera datang. Sayang, datangnya hujan tak selalu berarti
hadirnya pelangi.
Kali ini aku setuju dengan manusia. Pelangi memang
cantik, sangat cantik. Aku ingin pelangi tinggal di langitku. Jingga senja
mungkin indah, tapi ia meluruhkan biruku. Hitam malam dan taburan bintang memang
anggun dan menyejukkan, tapi ia mengusir paksa biruku tanpa ampun. Aku suka
pelangi. Warna-warninya bisa kunikmati, dan biruku tak ternodai.
Biruku cantik dan pelangi juga cantik. Keduanya, jika
disatukan, ah, alangkah sempurnanya.
Ya, aku sedang mencari pelangi. Itulah sebabnya aku
kesini. Dua jam sudah aku memeriksa setiap jari pohon dan sangkar burung di
selanya; tak ada. Kuperiksa satu per satu lembar daun yang jatuh; tak ada.
Belum lagi kususuri perdu yang mengitari taman ini; tetap tak ada.
Ada, mungkin. Hanya belum datang. Atau belum
kutemukan. Aku yakin itu.
Kau tersenyum di ujung kursi sana, sementara aku
duduk di ujung yang lain. Kau adalah manusia pertama yang kutemui hari ini,
dengan bolpoin dan buku catatan. Mungkin sudah puluhan puisi tercipta dari
kedua temanmu itu. Puluhan puisi, kuyakin, juga sudah kubaca. Dan kita
sama-sama suka bola. Itu penting. Empat lelaki yang kutemui sebelumnya mengaku
tak tahu dan tak tertarik pada bola. Mereka juga tak menulis puisi—ehm.
Langitku biru. Sama denganmu. Meski jingga indah dan
pelangi rupawan, biru juga cantik kan?
Pelangimu,
bagaimana?
Masih kucari jawaban atas pertanyaan itu.
Pemalang, 4 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar