Jumat, 12 Agustus 2016

#EdisiBelajarNulis Belajar dari JK Rowling #KarakterCerita

It’s always been tiring for me untuk membangun karakter tokoh. Buatku, picturing a character itu susah, harus natural or at least believable. Ketika nulis cerita, aku seringkali langsung nulis aja tanpa terlebih dahulu breakdown jalan cerita atau bikin outline. Itulah masalahnya. Imbasnya langsung kemana-mana. Ada aja karakter yang di tengah cerita jadi terkesan ngambang dan nggak kena. Kadang ada karakter yang “kehilangan jati diri”, ada yang kebolak-balik sehingga bingung sendiri “Kok si A jadi cengeng gini? Kok B jadi lebay gini? Ini C atau D sih?”
Tiap karakter adalah wayang, pelakon yang akan menghidupkan cerita. Karakter yang baik akan menguatkan cerita, tapi sebaliknya, karakter yang kurang tajam akan membuat cerita jadi hambar dan “kurang nendang”. Makanya proses penciptaan karakter itu harus dipikirkan matang-matang, supaya jelas jati dirinya, jelas juga sikap-sikapnya dalam menghadapi konflik cerita. Terkadang aku udah suka banget sama satu karakter yang aku bikin, tapi waktu dipasin ke konflik agak kurang cocok. Nah, kalo udah gini, aku biasanya nyesuain lagi di konfliknya, atau kalo lebih pede ke konflik yang udah ada ya akhirnya ngubah sedikit attitude si karakter ini.
Salah satu cerita yang aku suka banget penokohannya dan pasti kalian semua tahu adalah Harry Potter-nya Jo Rowling. Tante Jo ini teliti banget bikin karakter di sini. Aku pernah nonton sebuah video yang membedah karakter-karakter wanita di HarPot dan aku berkesimpulan bahwa si tante ini harus kita tiru.
Tokoh-tokoh perempuan di HarPot terbilang banyak, dan masing-masing punya karakteristik yang lovable. Ada Hermione yang bookish dan selalu jadi “otak” setiap kali ada masalah menghadang, tapi ada juga Luna Lovegood yang menurut Rowling adalah antitesa Hermione. Luna dan Hermione ini beda banget; yang satu realistis, satunya lagi ‘living in her own world (kata Emma Watson)’. Rowling sendiri bilang dia suka kedua tokoh ini secara equal.
Selain kedua teman Harry, ada Molly Weasley yang mother-figure abis. Julie Walters, pemeran Mrs. Weasley menggambarkan karakternya sebagai “the mother of that world”. Rowling, lewat Molly, membuktikan bahwa gender equality itu adalah ketika perempuan bisa memilih, baik itu memilih menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier. Dan Molly memilih untuk jadi ibu rumah tangga. Tapi itu adalah pilihannya sendiri. Membesarkan anak-anaknya, menjadi pendukung setia Dumbledore’s Army, dan jadi sosok ibu bagi Harry dan Hermione (yang akhirnya malah jadi menantu-menantunya), di akhir cerita Molly-lah yang menghabisi Bellatrix Lestrange. Buat yang bukan pengikut HarPot, fyi ya, si tante Bellatrix ini adalah anak buah Voldemort yang menghabisi orang tua Neville Longbottom. Dia dikenal sebagai tokoh antagonis wanita yang paling sering bikin ulah, sekalinya nongol langsung bunuh Sirius Black, godfather-nya Harry. Belum lagi statusnya sebagai tawanan Azkaban yang melarikan diri.
Nggak cuma tokoh wanita, tokoh pria di HarPot juga digambarkan dengan baik. Ron Weasley yang--meski kadang clumsy--dia tetap jadi sahabat baik Harry. Dan favoritku, si kembar Weasley yang seru dan brilliant. Mereka kompak as partners in crime, you know. Belum lagi si Draco Malfoy yang punya sisi baik dari ibunya.
Being realistic and believable adalah kata kuncinya. Kita lihat gimana unik (baca: aneh)-nya Luna yang fearless, nyaman di dunianya sendiri, nggak takut jadi diri sendiri. Nemu nggak ada orang kek Luna di sekitar kita? Mungkin jawabannya TIDAK. Kalaupun iya, tetap nggak segila Luna (dan ayahnya, hmm). Tapi Luna itu believable. Kita ngrasain Luna beneran ada, eksis. Dan banyak orang mengaguminya (termasuk ane, gan).

Lewat karakter, juga, Rowling menyampaikan pesannya pada (terutama) kaum perempuan. To be as brilliant as Hermione, powerful as Ginny, fearless as Luna, loving as Molly, and caring as Prof. Gonagall. Kedalaman pesan, sekali lagi, adalah yang paling dibutuhkan. Pesan apa yang ingin kalian sampaikan, titipkan pesan itu pada karakter-karakter yang kalian cipta. Lalu biarkan karakter itu berkembang sesuai alur cerita, menyelesaikan konflik yang ada. Semangat nulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar