Sabtu, 16 Januari 2016

Perjalanan Belum Usai: Review of Faith and the City by Hanum Salsabiela and Rangga Almahendra

Malam ini ditutup dengan khatamnya bacaan yang saya beli bulan lalu, Faith and the City karya Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra. Saya mengikuti kedua penulis ini semenjak 99 Cahaya di Langit Eropa booming di jagat sastra nasional. Buku best seller itu kemudian diikuti dengan kumpulan cerita Berjalan di Atas Cahaya lalu lahirlah Bulan Terbelah di Langit Amerika yang bahkan sudah bisa kita nikmati versi layar lebarnya.
si pirus yang cantik

Perjalanan Hanum dan Rangga sampai di Kota New York, salah satu kota tersibuk di dunia. Saya jadi ingat, Liz Gilbert (diperankan oleh Julia Robert) di Eat, Pray, Love (2010) menyebutkan kata “ambission” kala mendeskripsikan kota asalnya tersebut. Ya, hal itulah yang coba dijabarkan di dalam buku ini, lewat kelanjutan kisah sepasang suami-istri yang (pada awalnya) berada di Amerika untuk urusan pekerjaan.

Faith and the City bercerita tentang perubahan yang terjadi di hidup Hanum dan Rangga di malam yang sama ketika mereka berhasil menjadi perantara bertemunya Phillipus Brown dan Azima, istri dari pahlawan hidupnya, Abe. Tak disangka, malam bersejarah yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun TV di Amerika itu menjadi titik balik kehidupan keduanya. Hanum yang punya misi besar menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya ke mata dunia yang diliputi fobia setelah insiden 9/11 harus memilih antara keluarga dan cita-cita. Keinginan suami dan nafsu hati. New York atau Wina.

Seperti judulnya, Faith and the City menawarkan konflik batin khas metropolitan: dimana keyakinan, impian dan ekspektasi beradu dan bertubrukan dengan kejamnya tuntutan ibu kota. Hanum secara mengejutkan mendapat tawaran menggiurkan dari host dan reporter idolanya, Andy Cooper, membuatnya tak berdaya untuk tidak memberikan jawaban lain selain “ya”. Karena itulah, ia dan suaminya Rangga harus tinggal lebih lama di New York.

Tawaran dari Cooper seperti durian runtuh bagi Hanum, tapi tidak bagi Rangga. Ia yang kalah populer dari Cooper di mata istrinya sendiri harus menelan pil pahit: menjadi yang nomor dua. Yah, meski membaca derita Rangga yang membayangkan mie instan sebagai spageti itu serasa menggelikan.

Konflik metropolis itu pun muncul juga: karier Hanum perlahan menanjak sementara kehidupan rumah tangganya bermasalah.

Beberapa cuplikan kisah di novel ini mengingatkan saya pada potongan film The Devil Wears Prada, bahkan dengan alur cerita yang nyaris sama. Entahlah, apa konflik di kota besar harus dengan pola seperti itu? Kesempatan emas diikuti dengan jam kerja dan tuntutan tinggi hingga melalaikan kehidupan pribadi sampai akhirnya hubungan dengan orang terkasih memburuk dan akhirnya si tokoh utama sadar bahwa ia selama ini sudah salah fokus. Ya, dari awal perkenalan Hanum dengan Sam si kameramen pria setengah tulen serta tuntutan kerja tinggi dari Andy Cooper yang selalu menginginkan kerja maksimal (sekilas mirip tokoh Miranda Priestly dalam The Devil Wears Prada) sungguh terdengar klise dan bukan hal baru.

Well, saya menghargai dan menghormati penulis yang telah menghadirkan cerita dengan esensi kegelapan mimpi. Ya, mimpi yang sejak lama kita pendam tidaklah selalu sama dengan kenyataan yang terjadi. Kita selalu memimpikan hal-hal yang baik, hal-hal yang hebat. Padahal “baik” dan “hebat” tersebut kita peroleh dari penglihatan saja, perkiraan saja.

Novel ini mengajak pembaca untuk merenungi lagi arti mimpi, mana yang maya dan mana yang nyata. Ketika kita terpejam, bunga mimpi punya daya begitu hebat untuk membuat kita percaya, seolah-olah mimpi itu sedang kita alami secara nyata. Akan tetapi kita kemudian terbangun, dan  tersadar bahwa itu hanyalah mimpi.

Mengikuti 99 Cahaya di Langit Eropa dan “adik-adiknya” seperti ikut diajak bertualang keliling dunia. Mulai dari Eropa hingga Amerika. Masing-masing buku menawarkan rasa yang berbada, meski menurut saya sajiannya tetap sama, bahan pokoknya tetap satu: Islam di negara yang mayoritas non-muslim. Itu saja. Akan tetapi seperti membaca komik berseri dan akhirnya jatuh hati, sekali saja Anda jatuh hati pada buku-buku Hanum dan Rangga, cobalah untuk tidak ketagihan lalu akhirnya jatuh hati pada buku yang lain. Jangan ikuti saya yang tertarik dengan fakta-fakta mengejutkan di 99 Cahaya di Langit Eropa, lalu addicted dengan Berjalan di Atas Cahaya, sampai akhirnya cinta mati dengan Bulan Terbelah di Langit Amerika lalu segera membeli Faith and the City untuk melengkapi koleksi. Dan kini, ketika halaman terakhir sudah terbaca, ketika napas yang tertahan kala membaca klimaks cerita akhirnya dihembuskan perlahan, saya sudah tak sabar menanti buku selanjutnya beredar di toko buku. The Converso.

Perjalanan Hanum dan Rangga belum usai, seperti perjalanan saya mengoleksi karya-karya mereka yang sepertinya juga belum selesai…. *cek dompet*

Semarang, 13 Januari 2015

n.b: kalau ditanya paling suka sama buku yang mana, saya akan jawab dengan tegas: Bulan Terbelah di Langit Amerika. Alasannya? Well, you’d better stay tune.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar