Sabtu, 11 April 2015

Warna Yang Lain



Malam ini, deru suara hujan menjadi lagu kehidupan yang menemani suara-suara kecil dari perut anak-anak kos yang kelaparan. Jam memang sudah menunjukkan waktu untuk makan malam, tapi sepertinya kami harus menunda dulu menyuapi mulut-mulut kami yang buas karena lapar ini dengan sebungkus nasi kucingan. Di tengah kegelapan karena mati lampu seperti sekarang ini, siapa yang mau keluar gelap-gelap dan hujan-hujanan demi menuruti hawa nafsu (makan)?
Dan diantara kami, ada yang masih mengurai letih sebab baru saja kembali dari negerinya masing-masing. Sama sepertiku—kami semua—menderita kelaparan. Penyakit klasik khas anak kampus. Benar-benar menunjukkan loyalitas dan nasionalisme kami sebagai mahasiswa apabila kami menderita penyakit tersebut. Dan saat ini, kami amat sangat loyal pada status atau predikat kami tersebut.
Diantara gelap dan rinai-rinai hujan yang masih jua tinggal, ada satu lagi suara yang menghiasi malam dengan perih yang teramat di perut-perut kami ini. Suara itu adalah suara dengungan yang asalnya adalah dari kos bertingkat yang ada di samping kos kami. Tidak seperti kos kebanyakan, kos itu terbilang mahal dan mewah. Dan kemewahan itu salah satunya tercermin pada malam hari ini: disaat kosan lain gelap gulita bak kembali ke zaman penjajahan Belanda, wisma itu malah terang benderang disorot lampu genset. Suara dengungan genset itu terdengar sampai ke kosan kami, seakan menegaskan keberadaan kosan itu sebagai salah satu kos termewah.
Aku hanya menerawangi lilin yang jadi penerang satu-satunya. Diantara gelap macam ini, cahayanya bersinar terang. Meski tentu saja tak dapat mengalahkan cahaya dari sorot lampu yang harus jadi syarat wajib dari orang tuaku apabila aku akan membaca atau menulis, lilin kecil yang memendek itu jadi bukti bahwa akan selalu ada akar ketika tak ada rotan yang bisa ditemukan. Dan, meski tak semahal dan semodern lampu listrik, lilin selalu punya alasan sehingga kita akan selalu menyimpan beberapa batang di tempat tinggal kita.
Beberapa orang penghuni kos terdengar bercakap-cakap di ruang tamu. Bercerita, menurut mereka, bisa sedikit menyenangkan ketimbang berbaring tak jelas di atas kasur sambil menunggu kapan hujan reda dan lampu kembali menyala. Lagipula, perut yang kosong akan semakin berisik jika tak diajak untuk melakukan sesuatu.
Aku tak demikian tertarik untuk bergabung dengan mereka karena selain letihku masih menggantung di kedua belah mata, sendiri itu indah. Damai, tak ada yang mengusik, dan kita bisa melakukan apa saja yang bisa kita lakukan tanpa kuatir ada yang tak setuju. Itulah kenapa, aku lebih suka menghabiskan berjam-jam di dalam kamar tanpa sedikit pun keluar atau cepat-cepat kembali ke kos segera setelah kuliah selesai. Kamar tidur adalah ruang pribadi, semacam dunia yang kubuat sendiri.
Sementara itu, mati lampu—adalah magnet yang bisa merekatkan banyak orang, sehingga tak jarang kita temui mereka yang justru berkumpul dan hanyut dalam kebersamaan di tengah kegelapan. Ia juga adalah saat paling tepat untuk merayakan gelap sendirian. Ya, kesendirian akan lain rasanya jika lampu-lampu beterbaran di sekitarku, menawarkan cahaya dalam warna yang berlainan. Berbeda satu sama lain.
Dan lilin di depanku ini, menawarkan warna yang lain. Redupnya menjanjikan ketenangan, yang bahkan lampu semahal apapun takkan mampu mengalahinya.
Semarang, 27 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar