Kopi. Malam. Payung Teduh. Kamu.
Ketika semuanya sudah hadir,
maka bahagiaku hanya perlu dua hal lagi: pena dan lembar kertas. Oh, bolehlah
kalau ditambah dengan rerintik gerimis yang tak kunjung reda. Maka jadilah,
sempurnalah malam senduku. Malam inspirasiku.
Kopi.
Cangkir ini tidak selalu harus
diisi dengan kopi hangat, bolehlah sekali-kali ia hadir bersama susu hangat,
teh hangat, coklat hangat, atau jahe hangat. Ya, malam-malam di bukit seperti
ini, apa saja, minumlah, asal hangat. Yang penting kau bisa merasa nyaman, dan
bisalah kau lepas satu lapis kain dari tubuhmu itu.
Malam.
Ah, malam di perbukitan
sungguhlah manis. Sangat istimewa. Apalagi jika tak diganggu oleh dengungan
mesin kendaraan atau suara tangisan bayi. Malam itu, selain sejuk, juga
menentramkan. Apalagi jika banyak orang di sekitar yang terlelap. Tapi
inspirasiku tidak mati ketika malam berganti, biar pagi hadir inspirasi tetap
bisa lahir. Hanya saja, malam itu lebih manis, romantis, begitu magis.
Payung Teduh.
Entah sudah berapa kali kuputar
lagu itu. Berkali-kali, berulang-ulang, berputar selalu. Tak jenuh rasanya
ditemani suara itu sembari menunggu inspirasiku pulang. Kali ini aku cinta mati
pada “Menuju Senja”. Ah, cobalah sesekali kau dengarkan. Ada kicauan burung
yang hinggap di tengah lagu. Begitu mendamaikan. Atau “Kita adalah Sisa Sisa
Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan” yang terasa sangat intim, sangat “kita”?
Kamu.
Bagaimana mungkin inspirasiku
bisa hadir kalau kamu tak disini? Ya, kaulah syarat paling nomor satu itu.
Kaulah pemegang kunci itu, satu-satunya orang yang bisa membuka pintu itu lalu
menyambut masuk sang inspirasi. Biar kopi sudah diisi berulang kali, biar malam
sudah berganti pagi dan pagi berubah lagi jadi malam, biar telingaku sampai
merah dan kaset Payung Teduh jadi rusak gara-gara terlalu sering diputar, biar
ada pena dan lembar kertas; kalau tak ada kamu yang menemani, dia takkan
kembali. Dia tak jadi mampir. Dia sungkan untuk hadir, bahkan untuk sekadar
mengetuk pintu. Buat apa inspirasiku susah payah datang kesini dan mengetuk
pintu kalau ia takkan bisa masuk kecuali kamu yang menyambut?
Jadi, intinya, apa yang paling
kubutuhkan untuk menyiapkan malam inspirasiku?
Aku cari kamu di setiap malam yang panjang, aku cari kamu kutemui kau
tiada.... (payung teduh)
Semarang, 7 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar