Jumat, 12 Oktober 2018

#MyShelf Eleanor & Park karya Rainbow Rowell: Dua Kutub Yang Jatuh Cinta Satu Sama Lain

Novel Eleanor & Park karya Rainbow Rowell

Park couldn’t think of a way to get rid of her on the bus. Or a way to get rid of himself. So he put his headphones on before the girl sat down and turned the volume all the way up.
Thank God she didn’t try to talk to him.

Pernah dengar bahwa memakai headphone di kendaraan umum sama saja dengan memasang papan peringatan “dilarang mengajak ngobrol”? Bagaimana jika kita justru bertemu dengan orang yang mendengarkan hal yang sama dengan kita, menyukai apa yang kita sukai, antusias pada apa yang kita gemari? Akankah papan peringatan itu tetap tertempel seperti yang sudah-sudah?

Saya lupa dari mana persisnya saya tahu buku ini. Yang jelas, lewat buku inilah saya berkenalan dengan sang penulis, Rainbow Rowell, yang sebelumnya tak pernah saya dengar namanya. Selain Eleanor & Park yang kali pertama rilis pada 2012, ia juga menulis beberapa novel lain, salah satunya yang masuk daftar TBR saya, Fangirl.

Ada beberapa hal yang bikin saya jatuh cinta dengan buku ini. Okay, saya breakdown satu per satu ya.


Yang pertama, tentu saja, sebelum membuka sebuah buku, sebelum mulai membacanya, sebelum mencari review dari pembaca buku tersebut, pastilah kita nilai sampulnya terlebih dahulu. Kalau kata Deddy Corbuzier, don’t judge a book by its cover itu nggak sepenuhnya benar. Gimana bisa not judge a book by its cover kalau bukunya masih plastikan?

Ya, saya suka banget sama sampulnya. Sederhana namun memikat. Kita bisa melihat kedua karakter utama dilihat dari sisi belakang. Keduanya nampak bersisihan, tak begitu dekat, namun sama-sama memakai ­headphone yang berhubungan. Sampai sini kita tahu, Eleanor dan Park suka mendengarkan hal (baca: musik) yang sama.

Dua orang yang tiba-tiba feel connected to each other karena menyukai musik yang sama? Menarik nih.

Saya pun memulai petualangan bersama Elanor dan Park. Mengikuti kehidupan mereka masing-masing hingga bertemu dan memulai sebuah kisah. Jadi, Eleanor dan Park ini siapa sih?

Eleanor adalah anak pertama dengan tiga orang adik yang semuanya laki-laki. Setelah kedua orangtuanya bercerai, Eleanor dan adik-adiknya tinggal bersama sang ibu yang kini sudah memiliki kekasih bernama Richie. Sayangnya, Richie tak begitu akur dengan Eleanor. Justru, Richie menganggap Eleanor sebagai biang keladi atas segala permasalahan yang terjadi di rumah. Hal itu sebetulnya tak sepenuhnya salah, karena Eleanor memang tak suka dengan Richie. Ia selalu mencoba berbagai hal agar Richie tak tahan dengan sikapnya lalu memutuskan untuk meninggalkan rumah.

Eleanor kini sudah SMA. Karena ambisi ibunya yang yakin jika ia bisa masuk kelas unggulan, ia harus berpindah sekolah. Di sekolah barunya ini, ia menjadi perhatian teman-temannya. Bukan karena kemampuannya, melainkan penampilannya yang unik (untuk tidak menyebut “nyentrik). Ya, penampilan Eleanor memang cukup berbeda dengan teman sebayanya. Ia memiliki rambut keriting berwarna merah, atasan berwarna cerah dan terlalu besar yang Richie pilihkan khusus untuknya, rok yang terlalu kuno, serta berbagai aksesoris yang terlalu banyak. Hal demikian, jika digabungkan menjadi satu, membuatnya tak mungkin lepas dari pandangan orang lain.

Murid baru yang weird, awkward, dan anti mainstream di SMA populer? Tentu saja ia tak mempunyai sahabat.

Lalu datanglah Park Sheridan. Seorang murid setingkat dengan tampilan yang juga tak kalah mencolok. Bukan, bukan karena kaus kebesaran atau aksesoris berlebih, melainkan wajahnya yang setengah oriental. Park lahir dari keluarga multi etnis. Ayahnya berasal dari Amerika, sementara ibunya asli Korea. Ia suka membaca komik, adalah fans The Smiths dan pandai dalam bela diri taekwondo—bukan karena ibunya dari Korea, namun karena ayahnya yang gemar taekwondo.

Keduanya kali pertama bertemu dalam perjalanan pulang ketika sama-sama naik bus sekolah. Kala itu, Park merasa terganggu karena sekelompok anak mengerjai Eleanor. Melihat kelakuan anak-anak itu, ia pun seketika membentak meminta Eleanor untuk duduk di sampingnya. Eleanor yang terkejut pun tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perkataan Park. Gadis itu tak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Keduanya hanya diam dan tak sabar menunggu bus tiba di rumah.

Setelah pertemuan pertama yang canggung, Park pun kini menyadari kehadiran Eleanor. Ia kemudian tahu bahwa Eleanor sebetulnya cukup populer di kalangan para guru—kali ini bukan karena penampilannya, melainkan kemampuan dan kepintarannya di dalam kelas. Hari berlalu, begitu pun dengan kedekatan mereka berdua.

Saya tak akan bercerita terlalu panjang di sini. Alur dalam buku ini disajikan dengan begitu manis dan subtle. Meskipun penuh dengan kejutan-kejutan kecil di tiap bab, namun tidak terasa terburu-buru. Semuanya mengalir apa adanya. Sebagaimana kebanyakan novel bergaya YA (young adult) lainnya, kehidupan remaja dikupas tuntas di dalamnya. Pembaca diajak berkenalan dan mengetahui kehidupan kedua tokoh utama di dalam maupun di luar sekolah.

Yang paling saya suka adalah banyak kutipan dalam novel ini yang quotable, antara inspiratif dan bikin baper, bahkan membuat kita berpikir tak hanya soal cinta-cintaan tapi juga soal makna kehidupan. Saya bahkan tak bisa memilih kalimat mana yang bisa saya kutip di sini.

Oh ya, di beberapa bagian dalam novel ini kita akan berpapasan dengan beberapa musisi seperti The Smiths, Echo and the Bunnymen, dan Joy Division, karya sastra klasik (macam Romeo and Juliet, Hamlet, dan Macbeth) serta beberapa judul komik dan bacaan lainnya yang menjadi “tali” antara kedua karakter. Ya, lumayanlah buat referensi.

Sebagai penggemar romance yang belakangan mulai melirik genre YA, saya kira novel ini tak hanya patut dibaca, namun juga dikoleksi.

Untuk yang sudah baca, ini ada rekomendasi bacaan lainnya di sini. Semoga suka.
Happy reading, folks!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar