![]() |
Novel Eleanor & Park karya Rainbow Rowell |
Park couldn’t think of a way to get rid of her on the bus. Or a way to get rid of himself. So he put his headphones on before the girl sat down and turned the volume all the way up.
Thank God she didn’t
try to talk to him.
Pernah
dengar bahwa memakai headphone di
kendaraan umum sama saja dengan memasang papan peringatan “dilarang mengajak
ngobrol”? Bagaimana jika kita justru bertemu dengan orang yang mendengarkan hal
yang sama dengan kita, menyukai apa yang kita sukai, antusias pada apa yang
kita gemari? Akankah papan peringatan itu tetap tertempel seperti yang
sudah-sudah?
Saya
lupa dari mana persisnya saya tahu buku ini. Yang jelas, lewat buku inilah saya
berkenalan dengan sang penulis, Rainbow Rowell, yang sebelumnya tak pernah saya
dengar namanya. Selain Eleanor & Park
yang kali pertama rilis pada 2012, ia juga menulis beberapa novel lain,
salah satunya yang masuk daftar TBR
saya, Fangirl.
Ada
beberapa hal yang bikin saya jatuh cinta dengan buku ini. Okay, saya breakdown satu
per satu ya.
Yang
pertama, tentu saja, sebelum membuka sebuah buku, sebelum mulai membacanya,
sebelum mencari review dari pembaca buku tersebut, pastilah kita nilai
sampulnya terlebih dahulu. Kalau kata Deddy Corbuzier, don’t judge a book by its cover itu nggak sepenuhnya benar. Gimana
bisa not judge a book by its cover kalau
bukunya masih plastikan?
Ya,
saya suka banget sama sampulnya. Sederhana namun memikat. Kita bisa melihat
kedua karakter utama dilihat dari sisi belakang. Keduanya nampak bersisihan,
tak begitu dekat, namun sama-sama memakai headphone
yang berhubungan. Sampai sini kita tahu, Eleanor dan Park suka mendengarkan hal
(baca: musik) yang sama.
Dua
orang yang tiba-tiba feel
connected to each other karena menyukai
musik yang sama? Menarik nih.
Saya
pun memulai petualangan bersama Elanor dan Park. Mengikuti kehidupan mereka
masing-masing hingga bertemu dan memulai sebuah kisah. Jadi, Eleanor dan Park
ini siapa sih?
Eleanor
adalah anak pertama dengan tiga orang adik yang semuanya laki-laki. Setelah
kedua orangtuanya bercerai, Eleanor dan adik-adiknya tinggal bersama sang ibu
yang kini sudah memiliki kekasih bernama Richie. Sayangnya, Richie tak begitu
akur dengan Eleanor. Justru, Richie menganggap Eleanor sebagai biang keladi atas
segala permasalahan yang terjadi di rumah. Hal itu sebetulnya tak sepenuhnya
salah, karena Eleanor memang tak suka dengan Richie. Ia selalu mencoba berbagai
hal agar Richie tak tahan dengan sikapnya lalu memutuskan untuk meninggalkan
rumah.
Eleanor
kini sudah SMA. Karena ambisi ibunya yang yakin jika ia bisa masuk kelas
unggulan, ia harus berpindah sekolah. Di sekolah barunya ini, ia menjadi
perhatian teman-temannya. Bukan karena kemampuannya, melainkan penampilannya
yang unik (untuk tidak menyebut “nyentrik). Ya, penampilan Eleanor memang cukup berbeda dengan teman sebayanya. Ia memiliki
rambut keriting berwarna merah, atasan berwarna cerah dan terlalu besar yang
Richie pilihkan khusus untuknya, rok yang terlalu kuno, serta berbagai
aksesoris yang terlalu banyak. Hal demikian, jika digabungkan menjadi satu, membuatnya
tak mungkin lepas dari pandangan orang lain.
Murid
baru yang weird, awkward, dan anti mainstream
di SMA populer? Tentu saja ia tak mempunyai sahabat.
Lalu
datanglah Park Sheridan. Seorang murid setingkat dengan tampilan yang juga tak
kalah mencolok. Bukan, bukan karena kaus kebesaran atau aksesoris berlebih,
melainkan wajahnya yang setengah oriental. Park lahir dari keluarga multi
etnis. Ayahnya berasal dari Amerika, sementara ibunya asli Korea. Ia suka
membaca komik, adalah fans The Smiths dan pandai dalam bela diri
taekwondo—bukan karena ibunya dari Korea, namun karena ayahnya yang gemar
taekwondo.
Keduanya
kali pertama bertemu dalam perjalanan pulang ketika sama-sama naik bus sekolah.
Kala itu, Park merasa terganggu karena sekelompok anak mengerjai Eleanor.
Melihat kelakuan anak-anak itu, ia pun seketika membentak meminta Eleanor
untuk duduk di sampingnya. Eleanor yang terkejut pun tak bisa berbuat apa-apa
selain menuruti perkataan Park. Gadis itu tak mengucapkan sepatah kata pun
sepanjang perjalanan. Keduanya hanya diam dan tak sabar menunggu bus tiba di
rumah.
Setelah
pertemuan pertama yang canggung, Park pun kini menyadari kehadiran Eleanor. Ia kemudian tahu bahwa Eleanor sebetulnya cukup
populer di kalangan para guru—kali ini bukan karena penampilannya, melainkan
kemampuan dan kepintarannya di dalam kelas. Hari berlalu, begitu pun dengan
kedekatan mereka berdua.
Saya
tak akan bercerita terlalu panjang di sini. Alur dalam buku ini disajikan
dengan begitu manis dan subtle.
Meskipun penuh dengan kejutan-kejutan kecil di tiap bab, namun tidak terasa
terburu-buru. Semuanya mengalir apa adanya. Sebagaimana kebanyakan novel
bergaya YA (young adult) lainnya,
kehidupan remaja dikupas tuntas di dalamnya. Pembaca diajak berkenalan dan
mengetahui kehidupan kedua tokoh utama di dalam maupun di luar sekolah.
Yang
paling saya suka adalah banyak kutipan dalam novel ini yang quotable, antara inspiratif dan bikin
baper, bahkan membuat kita berpikir tak hanya soal cinta-cintaan tapi juga soal
makna kehidupan. Saya bahkan tak bisa memilih kalimat mana yang bisa saya kutip
di sini.
Oh
ya, di beberapa bagian dalam novel ini kita akan berpapasan dengan beberapa
musisi seperti The Smiths, Echo and the Bunnymen, dan Joy
Division, karya sastra klasik (macam Romeo
and Juliet, Hamlet, dan Macbeth) serta beberapa judul komik dan
bacaan lainnya yang menjadi “tali” antara kedua karakter. Ya, lumayanlah buat
referensi.
Sebagai
penggemar romance yang belakangan
mulai melirik genre YA, saya kira novel
ini tak hanya patut dibaca, namun juga dikoleksi.
Untuk yang sudah baca, ini ada rekomendasi bacaan lainnya di sini. Semoga suka.
Happy reading, folks!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar